Oleh: Dewi Setya Swaranurani, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

“Kamu belum pernah kemari, Ran?” tanya Hani, sahabatku dari Sekolah Menengah Atas (SMA) yang saat ini bekerja di Jakarta. Sama-sama berasal dari Jogja dan sama-sama merantau, di momen libur seperti ini kami berjanjian untuk cuti di tanggal yang berdekatan agar kami dapat bertemu.

“Belum, emang kamu sudah pernah ke sini?” tanyaku pada Hani sambil menyusuri Teras Malioboro.

Udah, dong. Ini udah diresmikan sama Pak Sultan dari 2022, lho,” jawab Hani.

Pada tahun 2022 lalu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam acara wilujengan meresmikan Teras Malioboro. Teras Malioboro ini adalah tempat beraktivitas baru para pedagang kaki lima yang dulunya berjualan di sepanjang Kawasan Malioboro. Sri Sultan Hamengku Buwono X menjelaskan bahwa dalam satu tahun sejak diresmikannya teras Malioboro ini, seluruh biaya operasional digratiskan kepada seluruh pedagang kaki lima.

Dahulu, selain dikenal sebagai tempat yang klasik dan syahdu, Maliboro juga identik dengan deretan pedagang kaki lima yang berjualan di sepanjang Kawasan Malioboro. Pedagang kaki lima ini mayoritas berjualan baju batik, daster, kaos, gantungan kunci, hingga perintilan-perintilan khas Malioboro yang pastinya memikat para turis domestik hingga mancanegara. Pedagang kaki lima ini berjualan di depan pertokoan sepanjang Malioboro atau bisa dibilang di atas trotoar. Namun saat ini semua pedagang telah beralih ke Teras Malioboro.

“Wah, tempatnya bagus, ya. Berarti sekarang jalanan Malioboro lebih luas, ya bisa buat jalan kaki. Kalau dulu masih penuh pedagang, sekarang sudah lebih tertata rapi,” ungkapku.

Di sepanjang Teras Malioboro ini, aku dan Hani melewati berbagai pedagang kaki lima yang menjual batik, tas, bakpia, dan pernak-pernik lainnya. Kemudian, kami berhenti di sebuah toko batik—dan ternyata pedagang kaki lima ini adalah tetanggaku di rumah.

“Lho, Nok, tekan kapan ning Jogja? (Lho Nak, sampai kapan di Jogja?)” tanya Bu Atun sang pedagang batik sekaligus tetanggaku di rumah.

Kula dugi dinten Minggu Bu (Saya sampai hari minggu Bu),” jawabku sambil tersenyum ramah.

Setelahnya, kami berbincang-bincang sambil melihat-lihat batik dagangan Bu Atun. Ada beberapa alasan aku memilih membeli batik di Jogja, salah satu alasannya adalah murah.

“Wah, bagus-bagus tapi murah-murah ya Bu,” ungkap Hani kepada Bu Atun sambil memilih batik.

“Iya, Nok, tapi masih ada lho yang nawar harganya, kan kita keuntungannya cuma sedikit ta. Belum lagi bayar pajaknya, katanya tahun depan dikenakan pajak lagi, Peraturan Pemerintah (PP) 23 tahun 2018 juga dah nggak berlaku lagi,” keluh Bu Atun. “Mbak Rani, njenengan pegawai pajak to, kuwi bener yo? (Mbak Rani, kamu pegawai pajak kan, itu benar ya?),”

Dados makaten Bu, kula terangken rumiyin nggih (Jadi begini Bu, saya terangkan dulu ya),” ujarku.                                                                         

Penggunaan PP 23/2018

Pada 8 Juni 2018 lalu, Presiden Indonesia Joko Widodo mengesahkan PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah sebesar 0,5% (nol koma lima persen).

Selain itu, dalam ketentuan ini juga disebutkan bahwa jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final yaitu paling lama 7 (tujuh) tahun pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi yang terdaftar pada tahun 2018 atau sebelum 2018 tidak bisa lagi menggunakan tarif 0,5 % sesuai dengan PP nomor 23 Tahun 2018.

Namun, bagi wajib pajak yang terdaftar setelah tahun 2018, masih bisa menggunakan tarif ini dihitung dari tujuh tahun sejak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) terdaftar. Jadi semisal Bu Atun baru memiliki NPWP pada tahun 2021, maka Bu Atun masih bisa menggunakan tarif 0,5% hingga tahun 2027.

Penggunaan NPPN

Apabila wajib pajak sudah tidak bisa menggunakan tarif 0,5%, maka wajib pajak dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). NPPN ini adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto untuk mengetahui besar pajak terutang. Penggunaan NPPN ini memiliki beberapa syarat yakni antara lain penghasilan bruto dalam setahun di bawah Rp4,8 Miliar, menggunakan pencatatan, penghasilan yang diperolehnya tidak dikenai PPh Final.

Wajib pajak yang memilih menggunaan NPPN dapat memberitahukan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal Tahun Pajak yang bersangkutan menggunakan NPPN.

Insentif Pajak UU HPP

Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam peraturan ini, dijelaskan bahwa sejak 1 Januari 2022 Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu tidak dikenai Pajak Penghasilan atas peredaran bruto sampai dengan Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak. Yang dimaksud dengan peredaran bruto tertentu tersebut adalah penghasilan tertentu lainnya, termasuk penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Lantas bagaimana dengan wajib pajak yang sudah tidak bisa menggunakan PP 23 Tahun 2018 tarif 0,5%? Wajib pajak yang menggunakan NPPN masih bisa memanfaatkan insentif pajak tersebut selagi memenuhi kriteria yang berlaku. Hal ini dikarenakan ketentuan yang tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang tidak dikenakannya pajak bagi Orang Pribadi usahawan dengan penghasilan kurang dari Rp500.000.000,00 ini tidak melekat dengan ketentuan penggunaan tarif PPh 0,5%.

Kesimpulan

Tidak semua Wajib Pajak Orang Pribadi tidak bisa menggunakan PP 23/2018 di tahun 2025 nanti. Hal ini tergantung dengan kapan terdaftarnya NPWP milik wajib pajak karena dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki kesempatan selama tujuh tahun untuk menggunakan tarif tersebut.

Insentif pajak untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang tertuang dalam UU HPP tetap bisa digunakan meskipun Wajib Pajak Orang Pribadi tidak menggunakan tarif PPh 0,5%. Jadi, meskipun Wajib Pajak Orang Pribadi usahawan menggunakan NPPN, wajib pajak tetap dapat memanfaatkan fasilitas tersebut selagi memiliki omzet di bawah Rp500.000.000 dalam satu tahun pajak.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.