tindak pidana pencucian uang

Oleh: Kelik Widiatmoko (PPNS DJP)

  1. Pendahuluan

Tindak pidana di bidang perpajakan adalah salah satu tindak pidana yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara sebagai hasil tindak pidana (proceed of crime). Harta kekayaan merupakan salah satu perwujudan hasil tindak pidana oleh pelaku sebagai suatu tujuan atau keinginannya dalam melakukan tindak pidana. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) memberikan kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak (selanjutnya disebut PPNS DJP) untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang pidana asalnya dari tindak pidana di bidang perpajakan. Pasal-pasal pidana yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU KUP) tidak semuanya menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Penerapan UU TPPU tidak dapat serta-merta diterapkan terhadap perkara pidana di bidang perpajakan yang ditangani oleh PPNS DJP. Perlu dicermati mengenai pengenaan pasal pidana perpajakannya terlebih dahulu sehingga dapat diidentifikasi kemungkinan adanya dugaan TPPU yang berasal dari hasil kejahatan baik berupa kerugian pada pendapatan negara atau keuntungan ekonomis lainnya. Dalam UU KUP terdapat satu pasal pidana di bidang perpajakan yang bersifat formal, akan tetapi dapat diterapkan UU TPPU karena adanya harta kekayaan sebagai hasil tindak pidana (proceed of crime).

Marwah TPPU adalah segala upaya pelaku untuk menyembunyikan dan menyamarkan asal usul harta hasil tindak pidana sehingga tampak seolah-olah sah / legal dan dengan demikian dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya. Tindak pidana di bidang perpajakan adalah salah satu tindak pidana yang dapat memberikan harta kekayaan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf v UU TPPU. Dari pasal-pasal pidana sebagaimana dimaksud dalam UU KUP, tidak seluruhnya menimbulkan suatu akibat berupa kerugian pada pendapatan negara sebagai hasil tindak pidana. Pasal 39A UU KUP adalah salah satu pasal pidana yang tidak mensyaratkan adanya unsur akibat berupa kerugian pada pendapatan negara sebagaimana yang tercantum dalam unsur-unsur pasalnya. Dalam penerapannya, pelaku tindak pidana yang dipersangkakan menggunakan pasal 39A ini dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) jenis yaitu pelaku sebagai penerbit dan/atau pelaku sebagai pengguna faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya. Pada prinsipnya, UU TPPU dapat diterapkan atas tindak pidana dengan pasal 39A sebagai pasal sangkaannya dengan berbagai kondisi yang harus menyertainya. Pada tulisan ini akan disajikan pandangan mengenai penerapan UU TPPU terhadap hasil tindak pidana di bidang perpajakan yang pasal sangkaannya adalah Pasal 39A UU KUP.

  1. Pembahasan

Unsur Pasal 39A UU KUP secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

“Setiap orang yang dengan sengaja:

  1. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
  2. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.”

Berdasarkan perumusannya, Pasal 39A termasuk dalam kategori delik formal, dimana yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut[1]. Bandingkan dengan bunyi Pasal 39 ayat (1) yang dikategorikan sebagai delik material dimana selain daripada tindakan yang dilarang, masih harus ada akibat yang timbul dari tindakan tersebut, baru dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana (voltooid). Ciri dari delik material dari Pasal 39 ayat (1) adalah adanya unsur akibat yang ditunjukkan dengan adanya frase “sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara”. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: apakah atas pelaku tindak pidana di bidang perpajakan yang melanggar Pasal 39A dapat diterapkan UU TPPU mengingat delik tersebut adalah delik formal yang tidak mensyaratkan adanya unsur kerugian pada pendapatan negara sebagai akibat dari perbuatan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu kita harus memilah perbuatan para pelaku yang terlibat dalam tindak pidana tersebut dan membuktikan kemungkinan adanya keuntungan dari para pelaku. Berikut akan disajikan contoh kasus berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan sesuai hasil penyidikan yang telah dilakukan selama ini.

Pada contoh kasus pertama diasumsikan bahwa hanya ada dua pihak yang terlibat dalam transaksi jual beli faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya (TBTS), dimana:

  1. Sdr. A selaku penanggung jawab dari PT. A bertindak sebagai penerbit faktur pajak TBTS menerbitkan faktur pajak kepada PT. B dengan sdr. B selaku penanggung jawabnya.
  2. Faktur Pajak TBTS yang diterbitkan oleh sdr. A dengan menggunakan identitas PT. A memiliki harga jual sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar Rp1.000.000.000,00 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp100.000.000,00 kepada PT. B selaku pengguna Faktur Pajak tersebut.
  3. Kesepakatan harga antara sdr. A dan sdr. B sebesar Rp20.000.000,00 (20%) dari nilai PPN yang tercantum dalam faktur pajak tersebut.
  4. Atas faktur pajak yang diterima dari sdr. A tersebut, oleh sdr. B dilaporkan sebagai pajak masukan dalam SPT Masa PT. B dengan nilai PPN sebesar Rp100.000.000,00.

Dari ilustrasi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:

  1. Pelaku yang menikmati hasil tindak pidana adalah sdr. A selaku penerbit faktur pajak TBTS dengan nilai sebesar Rp.20.000.000,00 dan PT. B sebesar Rp80.000.000,00 (dengan perhitungan: nilai PPN yang seharusnya dibayar kepada penerbit faktur pajak sebesar Rp.100.000.000,00 dikurangi dengan harga yang dibayar kepada sdr. A atas faktur pajak yang telah dikreditkan sebesar Rp.20.000.000,00).
  2. Dengan demikian para pelaku yang dapat dipersangkakan melakukan TPPU adalah sdr. A selaku penerbit dengan menggunakan identitas PT. A yang nilai hasil kejahatannya (proceed of crime) sebesar Rp20.000.000,00 dan PT. B dengan nilai kejahatan sebesar Rp80.000.000,00.
  3. Konstruksi hukum yang dapat dibangun dari contoh kasus tersebut adalah:
    1. Sdr. A menerbitkan faktur pajak TBTS dengan menggunakan identitas PT. A kepada PT. B selaku pengguna faktur pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak sebesar Rp100.000.000,00 (PPN) dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak sebesar Rp100.000.000,00.
    2. Atas perbuatan sdr. A selaku penerbit dan PT. B selaku pengguna faktur pajak TBTS dapat dijerat dengan UU TPPU yang besarnya hasil kejahatan masing-masing adalah Rp20.000.000,00 untuk sdr. A dan Rp.80.000.000,00 untuk PT. B selaku korporasi.

Berbeda dengan contoh kasus pertama berikut disampaikan ilustrasi untuk kasus yang sama namun ada pihak lain yang turut serta melakukan tindak pidana dengan uraian sebagai berikut:

  1. Sdr. A selaku penerbit faktur pajak TBTS dengan menggunakan identitas PT. A menerbitkan faktur pajak dengan meminta imbalan sebesar 20% dari nilai PPN yang ada di faktur pajak;
  2. Diantara penerbit dan PT. B selaku pengguna faktur pajak terdapat pihak lain yaitu sdr. C yang berperan sebagai perantara antara penerbit dan pengguna.
  3. Sdr. C sendiri menentukan imbalan atas jasa perantara jual beli faktur pajak tersebut sebesar 10% dari nilai PPN atau sebesar Rp10.000.000,00;
  4. Dengan demikian sdr. B selaku penanggung jawab dari PT. B sebagai pengguna faktur pajak akan membayarkan uang sejumlah Rp30.000.000,00 (30% dari nilai PPN yang ada di Faktur Pajak).
  5. Atas skema transaksi tersebut didapat fakta bahwa PT. B menikmati sebesar 70% dari nilai PPN yang ada di faktur pajak TBTS.

Para pelaku tindak pidana dalam hal ini sdr. A, PT. B dan sdr. C dapat dijerat dengan UU TPPU sesuai peran dan keuntungan yang dinikmati para pelaku tersebut yaitu:

  1. Sdr. A menikmati hasil tindak pidana sebanyak Rp.20.000.000,00 (20% dari nilai PPN dalam Faktur Pajak);
  2. PT. B sebanyak Rp70.000.000,00 (70% dari nilai PPN dalam Faktur Pajak) dan;
  3. Sdr. C sebanyak Rp10.000.000,00 (10% dari nilai PPN dalam Faktur Pajak).  

Untuk contoh yang ketiga:  

  1. Pihak yang terlibat dalam tindak pidana di bidang perpajakan berupa penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak TBTS ini juga melibatkan tiga pihak sebagaimana dalam contoh kasus kedua, hanya saja untuk kasus ini, sdr. A selaku penerbit dengan menggunakan identitas PT A tidak mengambil keuntungan;
  2. Sementara sdr. C yang juga karyawan dari PT. A memanfaatkan tindak pidana ini dengan menentukan tarif sebesar 10% dari nilai PPN dalam faktur pajak atau setara dengan Rp10.000.000,00;
  3. PT. B selaku pengguna faktur pajak mengeluarkan dana untuk “membeli” faktur pajak tersebut sebesar Rp10.000.000,00 sebagaimana yang ditentukan oleh sdr. C.
  4. Keuntungan yang diperoleh PT B dari pengkreditan faktur pajak yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN-nya sebesar Rp90.000.000,00 [Rp100.000.000,00 (nilai PPN dalam faktur pajak) dikurangi dengan Rp10.000.000,00 (uang yang dibayarkan kepada sdr. C untuk “membeli” faktur pajak)].

Berdasarkan ilustrasi tersebut:

  1. Pelaku yang dapat dijerat melakukan TPPU adalah sdr. C dengan keuntungan dari hasil kejahatan (proceed of crime) sebesar Rp10.000.000,00;
  2. PT. B dengan keuntungan hasil kejahatan yang dinikmati sebesar Rp90.000.000,00;
  3. Sedangkan untuk sdr. A sendiri selaku penerbit faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya tidak dapat dijerat dengan UU TPPU karena tidak menikmati keuntungan dari tindak pidana asal, walaupun atas sdr. A tetap dimintai pertanggungjawaban pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A UU KUP.

Model penghitungan sebagaimana diuraikan di atas tidak akan ditemukan dalam pasal-pasal pidana yang diatur dalam UU KUP karena contoh model penghitungan ini tercantum dalam Penjelasan Pasal 44B UU KUP yang mengatur tentang penghentian penyidikan untuk kepentingan penerimaan negara dengan cara Wajib Pajak atau tersangka melakukan pelunasan jumlah pajak dalam faktur pajak ditambah sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak dalam faktur pajak.

Untuk lebih jelasnya berikut kutipan isi Pasal 44B ayat (1) dan (2) UU KUP secara lengkap:

Pasal 44B ayat (1) UU KUP:

“Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan”

Penjelasan Pasal 44B ayat (1) UU KUP:

Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sepanjang perkara tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.

Pasal 44B ayat (2) UU KUP:

“Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak atau tersangka melunasi:

  1. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 1 (satu) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara;
  2. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara;
  3. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.”

Penjelasan Pasal 44B ayat (2) UU KUP:

Dalam hal proses penyidikan telah menetapkan tersangka yang lebih dari 1 (satu) orang atau badan, maka setiap tersangka juga memiliki hak untuk mengajukan permohonan penghentian penyidikan untuk dirinya sendiri.

Permohonan penghentian penyidikan dilakukan oleh tersangka setelah melunasi jumlah kerugian pada pendapatan negara, jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar, jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak; jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan pajak yang dilakukan, sesuai dengan proporsi yang menjadi bebannya ditambah sanksi administratif berupa denda.

Contoh:

Penyidikan melakukan penyidikan terhadap PT.  XYZ dengan kerugian pada pendapatan negara sebesar Rp100.000.000,00. Terhadap kasus tersebut dilakukan penetapan tersangka terhadap A dan B. Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa A menerima manfaat sebesar Rp15.000.000,00, sedangkan B menerima manfaat sebesar Rp5.000.000,00. A dan B kemudian mengajukan penghentian penyidikan dan meminta informasi kerugian pada pendapatan negara yang harus mereka lunasi.

Berdasarkan manfaat yang diterima A dan B, maka jumlah kerugian pada pendapatan negara yang harus dilunasi dalam rangka permohonan penghentian penyidikan adalah sebagai berikut:

  1. A harus melunasi sebesar (Rp15.000.000,00/Rp.20.000.000,00) X Rp100.000.000,00 = Rp75.000.000,00
  2. B harus melunasi sebesar (Rp5.000.000,00/Rp20.000.000,00) X Rp100.000.000,00 = Rp25.000.000,00.”

Dari bunyi Pasal 44B ayat (2) sebagaimana tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa atas perkara tindak pidana di bidang perpajakan terkait Pasal 39A tidak menyebutkan adanya unsur kerugian pada pendapatan negara sebagai akibat dari perbuatan yang dilanggar, yang ada hanyalah jumlah pajak (PPN) dalam faktur pajak, sehingga apabila dalam suatu kasus tindak pidana di bidang perpajakan dengan pasal sangkaan Pasal 39A, para pelaku hanya dibebankan sebesar jumlah pajak dalam faktur pajak sesuai dengan manfaat yang mereka terima atau nikmati. Dalam contoh pertama di atas, dapat diidentifikasi bahwa jumlah pajak dalam faktur pajak sebesar Rp100.000.000,00 sebagai hasil tindak pidana di bidang perpajakan dimana sdr. A memperoleh manfaat sebesar Rp20.000.000,00 (20%) dan PT. B memperoleh manfaat sebesar Rp80.000.000,00 (80%). Sedangkan untuk contoh kedua, sdr. A memperoleh manfaat sebesar Rp20.000.000,00 (20%), sdr. C memperoleh manfaat sebesar Rp10.000.000,00 (10%) dan PT. B memperoleh manfaat sebesar Rp70.000.000,00 (70%).

  1. Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa walaupun atas penanganan perkara tindak pidana di bidang perpajakan dengan sangkaan pasal 39A tidak menimbulkan kerugian pada pendapatan negara sebagai unsur akibat dari perbuatan pidana, namun atas tindak pidana tersebut, para pelaku memperoleh keuntungan secara ekonomis dan merupakan hasil kejahatan (proceed of crime) yang dapat dijerat dengan UU TPPU. Dalam contoh tersebut, pelaku yang menikmati keuntungan paling besar adalah pengguna faktur pajak TBTS. Pengguna faktur pajak TBTS adalah Pengusaha Kena Pajak yang ingin mengurangi kewajiban pembayaran pajak (PPN) dengan mekanisme Pajak Keluaran dan Pajak Masukan (PKPM) dan dapat digolongkan sebagai perbuatan “tax evasion” (penggelapan pajak). Sementara pelaku penerbit faktur pajak TBTS adalah pihak yang memperoleh keuntungan secara ekonomis dari “menjual” faktur pajak tersebut, dan para perantara “jual-beli” faktur pajak yang juga menikmati keuntungan walaupun nilainya lebih kecil dibandingkan dengan para pengguna. Baik pengguna maupun penerbit faktur pajak TBTS sudah selayaknya dijerat dengan UU TPPU jika memperoleh keuntungan secara ekonomis dan merupakan proceed of crime dari praktik faktur pajak TBTS.

 
Tags