Oleh Tim Seksi Penyidikan III, Direktorat Penegakan Hukum

Apakah sanksi pidana menghapuskan pokok pajak yang terutang?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas, kita harus memahami konstruksi sanksi pidana dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang dibedakan menjadi sanksi pidana untuk delik material dan sanksi pidana untuk delik formal. Sanksi pidana untuk delik materiil tersebut dalam Pasal 3UU KUP dan sanksi pidana untuk delik formal tersebut dalam Pasal 39A UU KUP. Delik materiil adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang tidak dikehendaki  dari  sebuah  perbuatan  yang  dilarang,  dalam  hal  ini  menimbulkakerugian pada pendapatan negara. Artinya delik materiil baru selesai apabila telah terjadi kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan delik formal adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang, dalam hal ini menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya (TBTS). Artinya delik formal selesai dengan telah dilakukannya sebuah perbuatan yang dilarang. Delik formal dapat dipidana tanpa melihat akibat dari perbuatan yang dilarang tersebut.

Sanksi pidana ditentukan berdasarkan jumlah kerugian pada pendapatan negara. Sanksi pidana untuk delik materiil dihitung dari jumlah pajak terutang atau dari jumlah  restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi  atapengkreditayang dilakukan. Sanksi pidana denda sebagaimana tersebut dalam Pasal 39 ayat (1) UU KUP dihitung dari jumlah pajak terutang. Sanksi pidana denda untuk delik materiil sebagaimana tersebut dalam Pasal 39 ayat (3) UU KUP dihitung dari jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan. Sedangkan sanksi pidana untuk delik formal dihitung dari jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak TBTS sebagaimana tersebut dalam Pasal 39A UU KUP. Meskipun delik formal Pasa39A UU KUP tidak mensyaratkan telah terjadi kerugian pada pendapatan negara, Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 jo Nomor 9 Tahun 2021 merumuskan bahwa jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, buktpemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak TBTS termasuk dalam jumlah kerugian pada pendapatan negara yang harus dilunasi.

Konstruksi sanksi pidana denda dalam UU KUP sebagaimana tersebut diatas berbeda dengan konstruksi sanksi pidana dalam UU Kepabeanan atau UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sanksi pidana denda dalam UU Kepabeanan sebagaimana diatur dalam Pasal 102, 102A, 102B, 102C, 102D, 103103A, 104 dan Pasal 105 disebutkan pada jumlah tertentu dan tidak dihitung dari nilai pabean atau bea masuk yang harus dibayar. Sedangkan sanksi pidana denda dalam UU Tipikor sebagaimana diatur dalam Pasal 2 s.d. Pasal 13 juga disebutkan padjumlah tertentu dan tidak dihitung dari nilai kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Konstruksi sanksi pidana denda untuk delik materiil yang dihitung dari jumlah pajak terutang atau dari jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan mengakibatkan munculnya penafsiran bahwa jumlah pokok pajak terutang sudah masuk dalam komponen sanksi pidana denda. Kondisi inmengakibatkan penerbitan SKPKB Pasal 13 ayat (5) UU KUP, saat masih berlaku, jarang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak meskipun perkara pidana di bidang perpajakan sudah memperoleh putusan inkracht.

Penulis berpendapat bahwa jumlah pokok pajak terutang tidak masuk dalam komponen sanksi pidana denda karena pokok pajak dan sanksi adalah 2 hal yang berbeda dan tidak bersifat saling menggantikan. Dengan demikian sanksi pidana denda tidak menghapuskan pokok pajak yang terutang dan penagihan pokok pajak yang terutang dalam kasus pidana di bidang perpajakan menggunakan SKPKB Pasa13 ayat (5) UU KUP yang mensyaratkan delik materiil. Sedangkan untuk perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A UU KUP tidak dapat ditagih menggunakaSKPKB Pasal 13 ayat (5) karena merupakan delik formal dan tidak terdapat unsur jumlah pokok pajak terutang.

Meskipun demikian terdapat kelemahan dalam konstruksi Pasal 13 ayat (5) UU KUP karena masih mengenakan sanksi administrasi bunga sebesar 48%. Artinya terdapat duplikasi pengenaan sanksi, yaitu sanksi pidana denda dan sanksi administrasi bunga. Sanksi administrasi bunga sebesar 48% telah tergantikan oleh sanksi pidana penjara. Seharusnya SKPKB Pasal 13 ayat (5) UU KUP, saat masih berlaku, hanya menagih pokok pajak yang terutang yang seharusnya tidak hapus oleh sanksi pidana denda yang diputus oleh pengadilan.

Pada tahun 2019, terbit putusan Mahkamah Agung yang pada intinya menguatkan tindakan administrasi untuk menagih pokok pajak terutang setelah putusan inkracht. Putusan Mahkamah Agung Nomor 472/B/PK/Pjk/2019 tanggal 2Februari 2019 terhadap permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan PT. Tiga Daratan (Surabaya) dalam perkara pidana di bidang perpajakan, memuat hal-hal sebagai berikut:

  1. Walaupun hukum pidana di bidang perpajakan merupakan suatu asas ultimuremedium, sedangkan hukum administrasi perpajakan menempatkan asas primum remedium maka dipandang perlu untuk di saneer, oleh karenanya melakukan eksekusi kedua kalinya dari hukum pidana ke hukum administrasi terhadap kekurangan perhitungan atas kewajiban pajak yang harus dibayar adalah merupakan mencerminkan kewajiban konstitusi dan menempatkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum di bidang perpajakan serta tidak mengurangi harkat yang terkandung dalam Hak Asasi Manusia.
  2. Pemohon Peninjauan Kembali walaupun telah melakukan pertanggungjawaban dalam hukum publik yaitu dengan melaksanakan kewajiban atas hukuman, namun belum sepenuhnya melakukan kewajiban yang seharusnya membayar pajaknydan menjalani hukuman lainnya berupa pidana denda, setelah hukuman pidana penjara 2 tahun 8 bulan.
  3. Koreksi DJP Nomor KEP-01753/NKEB/ WPJ.11/2017 tanggal 22 Maret 2017, tetap dipertahankan karena hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5) beserta penjelasannya dalam UU KUP juncto Peraturan Mahkamah Agung Nomo13 Tahun 2016.

Kejaksaan juga menafsirkan bahwa pembayaran sanksi pidana denda tidak menghapuskan kewajiban perpajakan. Hal ini tertuang dalam Pedoman Jaksa Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang menyebutkan bahwa:

1. Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 39A UU KUP merupakan denda pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa di bidang perpajakan dan berbeda dengan denda administrasi yang diatur dalam beberapa pasal dalam undang-undang tersebut.

2. Berdasarkan ketentuan Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 39A UU KUP besaran denda ditentukan oleh perkalian dari jumlah kerugian pendapatan negara atau potensi kerugian pendapatan negara sebagai akibat dari perbuatan terdakwa maka harus dipahami bahwa denda yang dimaksud Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 39A UU KUtidak dimaksudkan sebagai pengembalian kerugian pendapatan negara karena kewajiban perpajakan terdakwa tidak menjadi hapus dengan terdakwa menjalani pidana badan dan membayar pidana denda.                      

Baik dalam hukum privat maupun hukum publik, tidak didapati penyebab hapusnya utang karena pemidanaan. Dalam kasus penipuan di perjanjian utang piutang, sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku penipuan tidak menghapus kewajiban pelaku untuk membayar utang. Hal yang sama juga berlaku antara sanksi administrasi dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Menerapkan sanksi administrasi dan sanksi pidana di bidang perpajakan bukan suatu nebis in idem karena antara sanksi administrasi dan sanksi pidana terdapat perbedaan, baik sifat maupun dalam tujuan. Prosedur pengenaan sanksi administrasi dilakukan secara langsung oleh pemerintah sedangkan sanksi pidana diputuskan oleh Hakim melalui prosedur pengadilan. Dengan demikian sanksi pidana denda seharusnya tidak menghapuskan pokok pajak yang terutang.

Apakah potensi pajak hilang dalam perkara pidana di bidang perpajakan?

Pertanyaan tersebut diatas seharusnya sudah terjawab dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan daberlakunya Pasal 113 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). SEMA Nomor 2 Tahun 2019 menyebutkan bahwa upaya penegakan hukum di luar pengadilan ataupun upaya- upaya litigasi penegakan hukum perpajakan dalam rangka menyelesaikan suatu sengketa perpajakan termasuk dalam lingkungan peradilan administrasi ataupun pengadilan pajak seharusnya dilakukan sebelum dilakukannya tindakan-tindakan hukum pidana perpajakan (primum remedium). Apabila suatu permasalahan perpajakan telah diadili dan diputus oleh suatu putusan Hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap, maka tidak dibenarkan lagi melakukan tindakan-tindakan penegakan hukum lain baik di luar ataupun di depan pengadilan karena putusan Hakim pidana dalam tindak pidana perpajakan adalah mengakhiri suatu upaya penegakan hukum dan asas yang berlaku adalah asas ultimum remedium. SEMA tersebut ibarat berpihak pada satu dari beberapa pandangan atau pemaknaan terhadap penerapan asas ultimum remedium dalam praktik penegakan hukum pidana di bidang perpajakan. SEMA tersebut memilih untuk memaknai ultimum remedum sebagai pilihan, yaitu apabila Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memilih penanganan pidana dalam penegakan hukum di bidang perpajakan, negara tidak dapat lagi mengenakan tindakan administratif berupa penetapan dan penagihan atas obyek pajak yang telah diputus dalam perkara pidana di bidang perpajakan.

Pilihan pemaknaan  ultimum remediudalam SEMA Nomor 2 Tahun 2019 semakin diperkuat dengan dihapuskannya Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 15 ayat (4) UU KUP dalam Pasal 113 UU Ciptaker yang mengatur ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Pokok pajak terutang tidak terhapus oleh sanksi pidana denda tetapi tool untuk menagih pokok pajak terutang tersebut menjadi hilang dengan dihapuskannya mekanisme SKPKB Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4). Demikian demikian, berdasarkan pemaknaan tersebut, Penulis berpendapat bahwa potensi pajak menjadi hilang saat sebuah perkara pidana di bidang perpajakan telah diadili dan diputus oleh suatu putusan Hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap.

Pemaknaan Pemulihan Kerugian pada Pendapatan Negara

Jika pokok pajak terutang dalam perkara pidana di bidang perpajakan tidak dapat ditagih saat perkara pidana tersebut telah diadili dan diputus oleh suatu putusan Hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap dan mengingat tugas utama DJP adalah mengumpulkan penerimaan pajak, dengan cara apa kerugian pada pendapatan negara yang ditimbulkan oleh tindak pidana di bidang perpajakan dapat terpulihkan? Selama ini parameter pemulihan kerugian pada pendapatan negara dimaknai dari pembayaran Wajib Pajak terkait SKPKB Pasal 13A, Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4) UU KUP, pembayaran dalam rangka pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sesuai Pasal 8 ayat (3) UU KUP, pembayaran dalam rangka penghentian Penyidikan sesuai Pasal 44B UU KUP dan pembayaran dari Wajib Pajak yang terkait dengan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan/atau Penyidikan. Pada akhirnya pemaknaan pemulihan kerugian pada pendapatan negara diperluas sampai dengan sanksi pidana denda dibayar oleh terpidana kasus pajak, meskipun pembayaran tersebut tidak masuk dalam pos penerimaan pajak.

Kepastian bahwa terpidana kasus pajak membayar sanksi pidana denda tidak hanya berkaitan dengan pemulihan kerugian pada pendapatan negara, tetapi juga berhubungan erat dengan dampak yang diinginkan dari penegakan hukum pidana di bidang perpajakan, yaitu menimbulkan efek jera terhadap pelaku dan efek takut terhadap calon pelaku. Untuk memastikan terpidana kasus pajak membayar sanksi pidana denda sekaligus untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2020 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Salah satu dari rumusan tersebut adalah rumusan kamar pidana dalam perkara pidana di bidang perpajakan.

Rumusan kamar pidana dalam perkara pidana di bidang perpajakan di SEMA Nomor 10 Tahun 2020 menyebutkan bahwa Majelis Hakim selain menjatuhkan pidana penjara juga menjatuhkan pidana denda yang jumlahnya minimal 2 kali atau maksimal sesuai dengan ketentuan yang berlaku dari jumlah pajak yang tidak disetor/diselewengkan oleh terdakwa. Jika terpidana tidak membayar denda paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi denda tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar denda, maka dipidana dengan pidana kurungan paling lama 8 bulan yang diperhitungkan secara proporsional.

SEMA tersebut diatas menjaga semangat untuk memulihkan kerugian pada pendapatan negara sehingga atas sanksi pidana denda dalam perkara pidana di bidang perpajakan tidak dapat langsung disubsider dengan kurungan dalam putusan pengadilan yang sering dikeluarkan Hakim dalam perkara pidana di bidang perpajakan berdasarkan Pasal 30 KUHP. Terpidana harus membayar pidana denddan harta bendanya dapat disita oleh Jaksa. Pilihan hukuman pidana kurungan baru diterapkan apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar denda. Tentu saja penilaian tidak mempunyai harta benda yang mencukupi harus berdasarkan pemeriksaan atau kegiatan penelusuran harta kekayaan terpidana.

Selama ini putusan Hakim dalam perkara pidana di bidang perpajakan banyak yang menyatakan bahwa sanksi pidana denda disubsidser dengan hukuman kurungan. Hal tersebut mengakibatkan kerugian pada pendapatan negara tidak terpulihkan karena terpidana hanya dibebani dengan hukuman badan. Dengan demikian potensi pajak hilang karena utang pajak tidak dapat ditagih dan kerugian pada pendapatan negara tidak terpulihkan. Negara justru mendapatkan biaya tambahan karena harus mengalokasikan anggaran untuk terpidana selama menjalani hukuman badan (penjara dan/atau kurungan). Selain itu disubsidernya sanksi pidana denda dengan hukuman kurungan dapat mengakibatkan rendahnya efek jera dan efek takut untuk melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Meskipun putusan pidana di bidang perpajakan pada tahun 2020 sudah banyak berpedoman pada SEMA Nomor 10 Tahun 2020, secara keseluruhan dalam 4 tahun terakhir (2017 s.d. 2020), nilai sanksi pidana denda yang berhasil dieksekusi oleh Kejaksaan hanya mencapai angka 4,4 milyar rupiah. Lantas, apa yang dapat dilakukan oleh DJP untuk mengamankan pemulihan kerugian pada pendapatan negara?

Penyitaan Harta Kekayaan dalam Perkara Pidana di Bidang Perpajakan

Penyitaan harta kekayaan dalam kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan merupakan upaya yang dapat dilakukan DJP untuk mengamankan pemulihan kerugian pada pendapatan negara sekaligus mendukung pengumpulan penerimaan pajak. Dalam konteks pemaknaan pemulihan kerugian pada pendapatan negara diperluas sampai dengan sanksi pidana denda dibayar oleh terpidana kasus pajak, meskipun pembayaran tersebut tidak masuk dalam pos penerimaan pajak, maka penyitaan harta kekayaan dilakukan sebagai bentuk pengamanan sekaligus meningkatkan level kepastian bahwa tersangka tindak pidana di bidang perpajakan akan membayar sanksi pidana denda. Sedangkan dalam konteks mendukung pengumpulan penerimaan pajak, penyitaan harta kekayaan diharapkan menimbulkan efek jera terhadap pelaku sehingga tidak akan mengulangi perbuatannya dan efek takut terhadap calon pelaku sehingga tidak melakukan perbuatan tindak pidana.

 

Penyidik Pajak memiliki wewenang melakukan penyitaan harta kekayaan tersangka berdasarkan Pasal 44 ayat (2) huruf e UU KUP dan Penjelasannya jo Pasa113 UU Ciptaker, dengan uraian sebagai berikut:

Pasal 44 ayat (2) UU KUP jo Pasal 113 UU Ciptaker huruf e:

“Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut.

Penjelasan Pasal 44 ayat (2) UU KUP jo Pasal 113 UU Ciptaker:

“Pada ayat ini diatur wewenang Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungaDJP sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan, termasuk melakukan penyitaan.  Penyitaan  tersebut  dapat  dilakukan, baik terhadap barang bergerak, termasuk tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga miliWajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagaTersangka.

Wewenang Penyidik Pajak untuk melakukan penyitaan harta kekayaan juga diatur dalam Pedoman Jaksa Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Hal tersebut diatur dalam Bab II – Tuntutan Pidana di Romawi XIII sebagai berikut:

Untuk mengoptimalkan pembayaran pidana denda, Penyidik Pajak melakukan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 44 ayat (2) huruf e UU KUP yang menyatakan bahwa “penyitaan tersebut dapat dilakukan baik terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang dan suraberharga  milik  wajib  pajak,  penanggung  pajak  dan/atau  pihak  lain  yang  teladitetapkan sebagai tersangkadengan merampas harta benda milik tersangka.

Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ketentuan penyitaan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d bahwa Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Sedangkan dalam Pasal 39 ayat (1) diatur bahwa yang dapat dikenakan penyitaan adalah: benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; benda yang khusus dibuat atau dipergunakan melakukan tndak pidana; benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUHAP, UU KUP jo UU Ciptaker, SEMA dan Pedoman Jaksa Agung, bagan penyitaan harta kekayaan dalam perkara pidana di bidang perpajakan dirumuskan sebagai berikut:


b1

Penjelasan:

1. Kegiatan penelusuran harta kekayaan merupakan tahapan yang wajib dilakukan oleh Penyidik Pajak sebelum melakukan penyitaan.

2. Penyitaan harta kekayaan dalam perkara pidana di bidang perpajakan dibagi menjadi 2 (dua) jenis penyitaan:

a.  Penyitaan dalam kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pajak.

b. Sita Eksekusi untuk melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang dilakukan oleh Jaksa.

3. Saat dilakukan kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, terhadap harta kekayaan yang diperoleh dari/diduga berasal/terkait tindak pidana langsung dilakukan penyitaan oleh Penyidik Pajak. Sedangkan terhadap harta kekayaan selain yang disebutkan diatas, dapat dilakukan pemblokiran sebagai bentuk pengamanan terhadap harta kekayaan milik tersangka.

4. Tindakan Jaksa berdasarkan bunyi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dilaksanakan dengan alternatif sebagai berikut:

a. Dalam hal dalam putusan Hakim terdapat perintah untuk melakukan perampasan, dalam rangka melaksanakan putusan Hakim maka Jaksa melakukan    perampasan    harta    kekayaan    yang   diperoledari/didugberasal/terkait tindak pidana. Apabila sanksi pidana denda tidak dibayar oleh terpidana, maka  Jaksa  melakukan  siteksekusi  terhadaharta  kekayaan terpidana.

b. Dalam hal dalam putusan Hakim tidak ada perintah untuk melakukan perampasan, Jaksa akan melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaaterpidana apabila sanksi pidana denda tidak dibayar oleh terpidana.

5. Terhadap hasil perampasan dan/atau sita eksekusi dilakukan pelelangan.

 

Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut diatas, penyitaan harta kekayaan tersangka oleh Penyidik Pajak dalam kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan memiliki beberapa manfaat sebagai berikut:

1.   Mendorong  terciptanya  efek  jera  terhadap  pelaku  tindak  pidana  di  bidang perpajakan dan efek takut terhadap calon pelaku tindak pidana di bidang perpajakan.

2.   Sebagai bentuk upaya Penyidik Pajak untuk mengamankan pemulihan kerugian

pada pendapatan negara, karena:

a)  mendorong Wajib Pajak melakukan pemulihan kerugian pada pendapatan negara melalui pembayaran sebagaimana diatur dalam Pasal 44B ayat (2) UU KUP jo UU Ciptaker melalui mekanisme permohonan penghentian penyidikan.

b)  membantu Jaksa untuk melakukan perampasan dan/atau sita eksekusi harta kekayaan melaksanakan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukutetap.

c)  membantu Jaksa melaksanakan rencana program restorative justice dalam penanganan perkara tindak pidana di bidang perpajakan sehingga perkara tidak dilanjutkan ke tahap penuntutan jika kerugian pada pendapatan negara sudah terpulihkan sebelum perkara masuk persidangan.

Penyitaan Harta Kekayaan dalam Perkara Pidana Kepabeanan dan Pidana Korupsi

Sebelum masuk ke penjelasan perkara pidana kepabeanan dan pidana korupsi, perlu disampaikan beberapa ketentuan terkaitasset recovery dan pidana. Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-013/A/JA/06/2014, asset recovery atau pemulihan aset adalah adalah proses yang meliputi penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan, pengembalian dan pelepasan aset tindak pidana atau barang milik negara yang dikuasai pihak lain kepada korban atau yang berhak pada setiap tahap penegakan hukum. Aset tindak pidana didefinisikan sebagai: a) aset yang diperoleh dari tindak pidana atau diduga berasal dari tindak pidana; atau b) aset terkait  tindak pidana. Dengan demikian pemulihan aset dilakukan dalam konteks aset tindak pidana dan penyitaan merupakan salah satu tahap dari rangkaian proses pemulihan aset.  

Pidana diatur Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam beberapa pasal sebagai berikut:

  1. Pasal 10 yaitu bahwa pidana terdiri atas pidana pokok (pidana mati, pidana penjara, pidana   kurunganpidana   denda,   pidana   tutupan)   dan   pidana   tambaha(pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan Hakim).
  2. Pasal 30 ayat (2) yaitu bahwa jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.
  3. Pasal 39 ayat (1) yaitu bahwa barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoledari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
  4. Pasal 41 ayat (1) yaitu bahwa perampasan atas barang-barang yang disita digantmenjadi pidana kurungan, apabila barang-barang itu tidak diserahkan atau harga barang menurut taksiran dalam putusan Hakim tidak dibayar.

 

Pasal 18 UU Tipikor menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pidana tambahan selain sebagaimana dimaksud dalam KUHP yaitu:

1. perampasan barang bergerak (berwujud atau tidak berwujud) atau tidak bergerayang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

2. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta benda dari tindak pidana korupsi, jika terpidana tidak membayar uang pengganthasil putusan inkracht, harta benda dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untumenutupi uang pengganti, dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi  untuk  membayar  uang  pengganti,  maka  dipidana  dengan  pidanpenjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimal dari pidana pokoknysesuai dengan ketentuan dalam undang-undang;

3. penutupan usaha;

4. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu.

 

Penanganan harta kekayaan dalam perkara pidana kepabeanan diatur UU Kepabeanan jo UU Ciptaker dalam beberapa pasal sebagai berikut:

1. Pasal 109 yaitu bahwa barang impor, barang ekspor atau barang tertentu yang berasal  dari  tindak  pidana atau  sarana  pengangkut  yang  digunakan  untumelakukan tindak pidana dirampas (berdasarkan putusan pengadilan) dan menjadi barang milik negara.

2. Pasal 110 yaitu bahwa dalam hal pidana denda tidak dibayar oleh terpidana, sebagai gantinya diambil dari kekayaan dan/atau pendapatan terpidana. Dalam hal penggantian tidak dapat dipenuhi, pidana denda diganti dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.

3. Pasal 112 yaitu bahwa Penyidik di lingkungan DJBC berwenang menyita benda- benda  yang  diduga  keras merupakan  barang  dapat  dijadikan  sebagai  buktsehubungan dengan tindak pidana kepabeanan.

 

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, bagan penyitaan harta kekayaan dalam perkara pidana korupsi dirumuskan sebagai berikut:

 

 

Penjelasan:

1. Kegiatan penelusuran harta kekayaan merupakan tahapan yang wajib dilakukan oleh Penyidik sebelum melakukan penyitaan.

2. Penyidik Tipikor melakukan penyitaan terhadap harta tindak pidana, harta yandiperoleh dari, diduga berasal atau terkait tindak pidana korupsi.

3. Putusan Hakim selain memuat sanksi pidana pokok berupa penjara dan denda, juga mengenakan sanksi pidana tambahan berupa perampasan barang bergera(berwujud atau tidak berwujud) atau tidak bergerak yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan/atau pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak- banyaknya dengan harta benda dari tindak pidana korupsi.

4. Berdasarkan putusan tersebut, Jaksa melakukan perampasan barang bergera(berwujud atau tidak berwujud) atau tidak bergerak yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan/atau melakukan sita eksekusi terhadap harta benda terpidanapabila sanksi pidana tambahan berupa uang pengganti tidak dibayar.

5. Terhadap hasil perampasan dan/atau sita eksekusi dilakukan pelelangan.

 


Sedangkan bagan penyitaan harta kekayaan dalam perkara pidana kepabeanan dirumuskan sebagai berikut:

b

Penjelasan:

1. Kegiatan penelusuran harta kekayaan merupakan tahapan yang wajib dilakukan oleh Penyidik sebelum melakukan penyitaan.

2. Penyidik Kepabeanan melakukan penyitaan terhadap barang tindak pidana, barang yang berasal dari atau digunakan untuk melakukan tindak pidana kepabeanan.

3. Putusan Hakim selain memuat sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda, juga menyebutkan bahwa terhadap barang tindak pidana kepabeanan dilakukan perampasan.  Berdasarkan  putusan  tersebut,  Jaksa  melakukan  perampasabarang tindak pidana kepabeanan untuk selanjutnya menjadi barang milik negara yang pemanfaatannya diatur oleh Menteri Keuangan.

4. Apabila terpidana tidak membayar sanksi pidana denda, Jaksa melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan terpidana.

5. Terhadap hasil sita eksekusi dilakukan pelelangan.

Penyitaan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Pidana Asal Tindak Pidana di Bidang Perpajakan

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uan(PPTPPU) menganut sistem pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian. Hal tersebut diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:

  1. Pasal 2 ayat (1), menyebutkan bahwa: Hasil tindak pidana adalah HartKekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, antara lain: korupsi, kepabeanan, cukai, dan di bidang perpajakan.
  2. Pasal  77,  menyebutkan  bahwa:  Untuk  kepentingan  pemeriksaan  di  sidang pengadilan,  terdakwa  wajib membuktikan  bahwa  Harta  Kekayaannya  bukamerupakan hasil tindak pidana.
  3. Pasal 78 ayat (1), menyebutkan bahwa: Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Hakim memerintahkan terdakwa agamembuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasaatau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
  4. Pasal 78 ayat (2), menyebutkan bahwa: Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukaalat bukti yang cukup.
  5. Pasal 81, menyebutkan bahwa: Dalam hal diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada Harta Kekayaan yang belum disita, Hakim memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penyitaan Harta Kekayaan tersebut.

Meskipun UU PPTPPU menganut sistem pembuktian terbalik, apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana, tidak berarti perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti melakukan tindak pidana. Hal tersebut hanya berlaku untuk salah satu unsur mengenai asal usul harta kekayaannya. Oleh karena itu pembuktian keseluruhan unsur tindak pidana seperti menempatkan, mentransfer, membayarkan, atau membelanjakan, menghibahkan, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan masih harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Hakim memberikan kesempatan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk menyampaikan bukti bila harta kekayaan yang diperoleh terdakwa merupakan hasil tindak pidana. Berdasarkan praktik tersebut, jenis pembalikan beban pembuktian di Indonesia adalah pembalikan beban pembuktian berimbang atau sistem  pembuktian  semi  terbalik  yaitu  bahwa  Jaksa Penuntut  Umum  mauputerdakwa saling membuktikan di persidangan. Jaksa Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan Terdakwa dan Terdakwa membuktikan sebaliknya bahwa ia tidak melakukan tindak pidana yang didakwakan. Jika UU PPTPPU menganut sistem pembuktian terbalik, lebih tepatnya sistem pembuktian semi terbalik atau pembalikan beban pembuktian berimbang, bagaimana dengan penyitaan harta kekayaan yang dilakukan dalam kegiatan penyidikan TPPU dengan pidana asal tindak pidana di bidang perpajakan?

Penyidik Pajak melaksanakan Penyidikan TPPU berdasarkan Pasal 74 UU PPTPPU dan Penjelasannya. Berdasarkan Pasal 74, penyidikan TPPU dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut UU PPTPPU. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 74 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asaladalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta DJP dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan TPPU apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya TPPU saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.

Sejak proses penyidikan TPPU, Penyidik Pajak seharusnya meyakini bahwa harta kekayaan milik tersangka patut diduga diperoleh dari hasil tindak pidana di bidang perpajakan. Adapun cara untuk meyakini harta kekayaan diperoleh dari hasil tindak pidana yaitu dengan mengetahui sejak kapan perolehan harta kekayaan tersebut diperoleh tersangka dengan waktu setelah tindak pidana di bidang perpajakan dilakukan. Jika penggunaan frasa “patut didugadalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ayat (1) UU PTTPU dimaknai pembuktiannya hanya dalam proses persidangan dan bukan sejak proses penyidikan, maka Penyidik Pajak punya wewenang penyitaan sangat besar dalam penyidikan TPPU karena dapat melakukan “tebar jaringdengan melakukan penyitaan harta kekayaan tersangka tanpa perlu pembuktian harta kekayaan milik tersangka diperoleh dari hasil tindak pidana di bidang perpajakan. Pembuktian dibebankan ke terdakwa di persidangan, apakah harta kekayaan tersebut bukan berasal dari hasil tindak pidana di bidang perpajakan. Tetapi karena Indonesia menganut sistem pembuktian semi terbalik atau pembalikan beban pembuktian berimbang, jika terdakwa tidak dapatidak dapat membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana di bidang perpajakan, Hakim akan memberikan kesempatan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk menyampaikan bukti bahwa harta kekayaan yang diperoleh terdakwa merupakan hasil tindak pidana di bidang perpajakan. Sehingga meskipun memiliki kewenangan penyitaan sangat besar dalam penyidikan TPPU, Penyidik Pajak seharusnya memiliki keyakinan sebelum melakukan penyitaan, yaitu bahwa harta kekayaan milik tersangka patut diduga diperoleh dari hasil tindak pidana di bidang perpajakan. Dikutip dari beritasatu.com, berdasarkan pendapat Yenti Ganarsih terhadap penyitaan yang dilakukan KPK dalam penyidikan TPPU dengan tersangka Djoko Susilo, sikap tersebut dimaknai sebagai bentuk penyitaan yang logis terhadap harta kekayaan yang bersumber dari hasil TPPU.

Pasal 75 UU PPTPPU menyebutkan bahwa dalam hal penyidik menemukan bukti  permulaan  yang cukup  terjadinya  TPPU  dan  tindak  pidana  asal,  penyidimenggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan TPPU dan memberitahukannya kepada PPATK. Berdasarkan hal tersebut penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dapat digabungkan dengan penyidikan TPPU dalam satu surat perintah penyidikan. Penggabungan penyidikan tersebut memperluas wewenang penyitaan harta kekayaan oleh Penyidik Pajak karena penyidik dapat melakukan penyitaan atas harta kekayaan yang tidak berasal dari hasil tindak pidana di bidang perpajakan dan secara legal penyitaan tersebut “diijinkan oleh undang- undang. Apabila dalam pembuktian di persidangan terbukti bahwa harta kekayaan tersebut tidak berasal dari hasil tindak pidana, maka putusan Hakim akan menyebutkan bahwa atas harta kekayaan yang disita tersebut harus dikembalikan. Tetapi  terhadap harta  kekayaan  tersebut  setelah dilakukan  pengembalian dapat langsung dilakukan sita eksekusi oleh Jaksa apabila terpidana tidak membayar sanksi pidana denda. Walaupun dapat dimaknai tidak logis, penyitaan harta kekayaan yang tidak berasal dari tindak pidana di bidang perpajakan dapat dimaknai positif dalam konteks pengamanan pemulihan kerugian pada pendapatan negara. Meskipun demikian karena Indonesia menganut sistem pembuktian semi terbalik dan bukan sistem pembuktian terbalik murni, maka penyitaan atas harta kekayaan yang tidak berasal dari hasil tindak pidana di bidang perpajakan, menjadi pilihan terakhir bagi Penyidik Pajak dalam penyidikan TPPU.

Konstruksi Pemulihan Kerugian pada Pendapatan Negara


Bagian akhir dari bunga rampai tindak pidana di bidang perpajakan berisi kesimpulan berwujud bagan konstruksi pemulihan kerugian pada pendapatan negara sebagai berikut:

Penjelasan:

  1. Pembayaran sanksi pidana denda berdasarkan Pedoman Jaksa Agung Nomor 2 Tahun 2019 tidadimaksudkan sebagai pengembalian kerugian pendapatan negara karena kewajibaperpajakatidahapuolesanksi pidandendaPemulihan kerugiapadpendapatanegara danpokopajaterutansebelumnya dapat dilakukan melalui penerbitan SKPKB Pasal 13 ayat (5) UU KUP.
  2. Dengan dihapuskannya Pasal 13 ayat (5) UU KUP dalam dalam Pasal 113 UU Ciptaker dan berdasarkan SEMA Nomor 2 Tahun 2019, pemulihan kerugian padpendapatan negara, selain dari pembayaran Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 44B UU KUP jo Pasal 113 UU Ciptaker, difokuskan pada perampasan harta terkait tindak pidaa di bidang perpajakan dan/atau penagihan sanksi pidana denda hasil putusan inkracht sehingga diharapkan penegakan hukum pidana menimbulkan efek jera dan efek takut.
  3. SEMA Nomor 10 Tahun 2020 dan Pedoman Jaksa Agung Nomor 2 Tahun 2019 mendukung upaya penagihan sanksi pidana denda melalui ketentuan sita eksekusi harta apabila sanksi pidana denda tidak dibayar terpidana pajak.
  4. Penyidik  Pajak  melakukan  penyitaan  terhadap  harta  tindak  pidana  dan/atau melakukan pemblokiran terhadap harta untuk mengamankan upaya perampasaharta dan/atau sita eksekusi apabila sanksi pidana denda tidak dibayar.
  5. Diperlukan  feed  back  dari  Kejaksaan  terkait  hasil  perampasan  dan/atau  sita eksekusi terhadap harta kekayaan terpidana pajak sehingga dapat diketahui besarnya kerugian pada pendapatan negara yang terpulihkan.
  6. Khusus untuk penyidikan TPPU, walaupun dapat dimaknai tidak logis, penyitaan harta kekayaan yang tidak berasal dari tindak pidana di bidang perpajakan dapadimaknai positif dalam konteks pengamanan pemulihan kerugian pada pendapatan negara. Meskipun demikian karena Indonesia menganut sistem pembuktian semi terbalik dan bukan sistem pembuktian terbalik murni, maka penyitaan atas harta kekayaan yang tidak berasal dari hasil tindak pidana di bidang perpajakan, menjadi pilihan terakhir bagi Penyidik Pajak.

 

Bunga rampai tindak pidana di bidang perpajakan, Penulis akhiri dengan pemikiran sebagai berikut: “Jika selama satu dekade terakhir realisasi penerimaan pajak selalu tidak memenuhi target dan tingkat rasio pajak di Indonesia masih dinilai rendah, apakah strategi pengawasan dan pemeriksaan akan tetap menjadi ujung tombak untuk mengumpulkan penerimaan pajak. Apakah patut dicoba ujung tombak lain, baik sebagai pengganti ataupun sebagai pendamping ujung tombak yang sudah ada?”.

Tags