Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Seorang wajib pajak mengunggah video singkat di media sosialnya sebagai testimoni pengalaman setelah mengikuti kegiatan tax gathering yang diadakan oleh Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah I di Semarang. Wajib pajak tersebut memberikan apresiasi atas kegiatan tersebut dan menyambut baik diundangnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam acara yang dihadiri para wajib pajak di wilayah kerja Kanwil DJP Jawa Tengah I. Nada prihatin ditunjukkan si wajib pajak ketika dipaparkan bahwa indeks persepsi korupsi di Indonesia masih berada di bawah Timor Leste, negara yang bahkan belajar pencegahan korupsi dari Indonesia.

Dalam penjelasannya, wajib pajak menyebut dua hal yang dapat dilakukan untuk menjaga integritas dan bertahan dari pengaruh korupsi dalam pengabdian untuk negeri. Dua hal tersebut adalah tahu malu dan hati yang lurus. Ini seolah menjadi tips bagi kita semua untuk menjaga integritas.

Wajib pajak tersebut mengutip delapan kebajikan dalam ajaran Konfusius, dimana salah satunya adalah "Chi", tahu malu. Tujuh kebajikan lainnya adalah "Xiao" (berbakti), "Ti" (rendah hati), "Zhong" (setia), "Xin" (dapat dipercaya), "Li" (kesusilaan), "Yi" (kebenaran), dan  "Lian" (hati yang bersih).

Mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), malu adalah merasa tidak enak hati (hina, rendah, dan sebagainya) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dan sebagainya). Sehingga tahu malu mengandung makna mengetahui dan mengerti atas perasaan malu jika melakukan hal yang kurang baik atau dinilai rendah oleh masyarakat secara umum.

Seberapa pentingnya rasa malu bagi seseorang? Pertanyaan ini bisa dengan mudah dijawab. Dalam ajaran Islam, rasa malu merupakan bagian dari keimanan seseorang. Ajaran agama lain juga menyampaikan sisi positif dari rasa malu.  Ajaran Kristen mendekatkan rasa malu dengan pengakuan dan kesadaran atas rasa bersalah. Ajaran Budha menyebut rasa malu sebagai "hiri" yang merupakan salah satu faktor mental yang baik dalam ajaran abidharma.

Memiliki rasa malu adalah manusiawi bagi semua orang. Namun apakah setiap orang menyadari dan menjadikan rasa malu sebagai rem dan pengingat terhadap perilaku negatif, ini yang menjadi pilihan bagi setiap orang.

Berbicara dalam konteks pelayanan publik, rasa malu boleh jadi menuntut pejabat atau pegawai pemerintah untuk tidak melakukan penyelewengan dari tanggung jawab dan wewenang yang dimiliki. Bukan menjadi rahasia bahwa posisi pejabat atau pegawai pemerintah yang ada di ranah pelayanan publik cukup rentan dengan tindakan penyalahgunaan wewenang yang menjadi awal tindakan korupsi. Hal ini menjadi tantangan besar yang dimiliki oleh pemerintah.

Pejabat dan pegawai kantor pajak termasuk dalam posisi rentan tersebut. Bagaimana tidak, pegawai pajak ada di posisi yang sangat dekat dengan kontribusi masyarakat dalam penerimaan negara. Sedikit saja penyelewengan karena tergiur dengan godaan rupiah dapat dengan mudah membuat pegawai terjerumus ke dalam pelanggaran integritas.

Kurangnya rasa malu boleh jadi salah satu faktor yang menyebabkan seorang pegawai pemerintah melakukan penyalahgunaan wewenang atau korupsi. Tahu malu yang dimiliki oleh aparatur negara menjadi benteng pertama dalam meredam keinginan untuk melakukan korupsi.

Lebih jauh lagi, tahu malu bukan hanya terkait dengan perilaku aparatur negara, namun bisa juga dilihat dari sisi pihak yang menerima pelayanan dari pemerintah. Terkadang ada keinginan untuk mendapatkan lebih dari yang seharusnya diperoleh. Misalnya, melakukan upaya agar pelayanan diterima tanpa harus mengantre. Upaya untuk mengecilkan pajak yang harus disetor dengan malakukan "kongkalikong" dengan petugas pajak juga merupakan contoh tidak adanya rasa malu dari penerima pelayanan pemerintah. Semua dilakukan demi kepentingan pribadi. Mereka seolah lupa bahwa hal ini sangat merugikan negara yang sedang berupaya untuk memakmurkan rakyatnya.

Setelah tahu malu menjadi perilaku yang dibiasakan dan diupayakan untuk menjadi budaya, selanjutnya hati yang lurus perlu dipupuk untuk terus menjaga integritas. Hati yang lurus memiliki peranan yang luar biasa dalam menjaga integritas seseorang

Seorang aparatur negara harus memahami tujuan dari pelaksanaan tugas yang dilakukan. Tujuan yang harus menjadi pemikiran adalah tujuan besar bagi negara dan bangsa, bukan tujuan untuk pribadi orang tersebut.

Pegawai negeri sipil atau sekarang disebut aparatur sipil negara merupakan abdi negara dan abdi masyarakat. Tugas dan tanggung jawab yang dilakukan oleh aparatur sipil negara merupakan bentuk pelayanan kepada negara dan masyarakat. Jika ini disadari para pegawai pemerintah, maka seharusnya hati akan lurus mengarah pada tujuan negara untuk menyejahterakan dan memakmurkan rakyat.

Segala tingkah laku seseorang berawal dari hati. Kita sering membahasakannya dengan “niat”. Banyak kalimat bijak yang intinya mengajak kita untuk menjaga hati. Ketika hati terjaga, maka perilaku juga akan terjaga.

Hal ini yang perlu dijaga oleh setiap aparatur negara. Apakah hanya aparatur negara? Tentu tidak. Masyarakat secara umum juga harus menjaga hati untuk turut berkontribusi dalam kemajuan negeri. Dalam hati yang lurus ada empati. Dalam hati yang lurus ada rasa untuk mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Jika ini dimiliki atau menjadi budaya di masyarakat, maka masa depan bangsa ada di jalur yang benar.

Tahu malu dan hati yang lurus mudah dikatakan, namun sulit untuk dilakukan. Pastinya akan banyak tantangan dalam perjalanannya. Pegawai pajak menjadi pihak yang menghadapi tantangan yang sangat besar. Besarnya amanah dalam memikul terkumpulnya penerimaan pajak akan banyak dihujani dengan godaan dan tantangan. Godaan ini jika tidak disikapi dengan perilaku tahu malu dan hati yang lurus akan sangat berbahaya. Ketamakan dan keserakahan bisa bermuara pada kehancuran.

Dua tips sederhana namun berkelas dari wajib pajak ini menjadi pengingat kita semua tentang pentingnya menjaga integritas. Jangan biarkan negeri ini hancur karena bangsanya yang sibuk untuk mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan. Integritas hurus dijaga. Bukan hanya oleh aparatur pemerintah, namun seluruh masyarakat. Dengan integritas tinggi, Indonesia emas bukanlah mimpi.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.