Pajak Haram dalam Islam, Benarkah?
Oleh: Fatikha Faradina, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa sejumlah 254 juta penduduk Indonesia atau 87% dari total populasi beragama Islam dan turut menyumbang 12,7% dari populasi muslim di dunia. Sebagai negara yang masyhur dengan predikat negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, topik soal apakah pajak itu haram atau tidak dalam Islam sering kali memicu perdebatan di kalangan ulama, akademisi, dan masyarakat di sini. Hal ini karena melibatkan aspek hukum Islam (fiqh), etika, dan prinsip ekonomi. Mari kita bahas secara sederhana dan berimbang.
Ulama mendefinisikan jizyah adalah pajak yang diwajibkan kepada setiap individu dari kalangan non muslim (Muhammad Kamil Hasan Al-Mahami, Al-Jizyatu fil Islam Dharibatur Ruusi wa Dharibatul Ardhi, [Beirut, Dar Maktabat Al-Hayaht], halaman 14). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mendefinisikan pajak sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak pada dasarnya adalah kewajiban finansial yang harus dibayar oleh individu atau entitas kepada negara atau pemerintah, yang digunakan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan umum, seperti pembangunan infrastruktur, pelayanan sosial, keamanan, pendidikan, dan lain-lain. Dalam konteks ini, pajak bisa dipandang sebagai suatu bentuk kewajiban sosial yang berhubungan dengan maslahat umum (kebaikan bersama). Islam sendiri secara eskplisit tidak pernah menyebut pajak sebagai sumber penerimaan suatu negara tetapi menitikberatkan pada zakat, sedekah, dan wakaf.
Zakat adalah kewajiban finansial yang harus dibayar oleh Muslim yang mampu, sedangkan wakaf adalah sumbangan harta yang digunakan untuk kepentingan sosial dan keagamaan. Meskipun pajak bukan zakat, keduanya memiliki tujuan yang sama dalam mendukung kesejahteraan masyarakat.
Etika pajak dalam perspektif Islam berfokus pada kewajiban pajak sebagai bagian dari kebijakan fiskal yang berbasis pada nilai-nilai Islam. Pajak dianggap sebagai kewajiban yang dapat secara temporer diwajibkan oleh Ulil Amri sebagai kewajiban tambahan setelah zakat, karena kekosongan/kekurangan baitul mal.
Pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Yusuf bin Tasyfin di Andalusia, beliau membutuhkan uang untuk mempersiapkan pasukan dan menghadapi musuh. Namun, di baitul mal tidak tersedia cukup dana untuk keperluan tersebut. Lalu beliau mengumpulkan para ulama dan hakim, termasuk Qadi Abu Al-Walid Al-Baji. Mereka semua dengan suara bulat memfatwakan bahwa beliau diperbolehkan mengambil dari kaum Muslimin sejumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Musthafa As-Siba'i, Isytirakiyatul Islam, [Mesir, Dar Mathabi As-Sya'bi: 1962 M], halaman 196)
Imam al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumiddin menyatakan bahwa pajak tidak haram jika dikelola dengan benar dan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam karena pada dasarnya Islam mengajarkan tentang kesejahteraan bersama dan mendukung pemerintah yang adil. Fatwa dari beberapa lembaga fatwa kontemporer, seperti Al-Azhar dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), telah memberikan fatwa yang menyatakan bahwa pajak dalam konteks modern pajak pada dasarnya halal, asalkan ia diterapkan dengan prinsip keadilan, transparansi, dan digunakan untuk kepentingan umum. Islam mengajarkan bahwa beban ekonomi harus dipikul berdasarkan kemampuan (Qs. Al-Baqarah: 286), sehingga pajak yang adil lebih cenderung dianggap halal.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pajak diperbolehkan dalam perspektif Islam sebagaimana dikukuhkan oleh para ulama. Kewajiban membayar pajak tetap harus dipatuhi, dan masalah penggelapan dana pajak harus segera diberantas dan diatasi serta pelakunya harus mendapatkan tindakan tegas berupa sanksi sesuai proses hukum yang ada (PBNU, Hasil Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU, [Cirebon, LTN PBNU: 2012], halaman 52-53).
Lebih lanjut, Indonesia menganut self assessment bagi pungutan pajak yang dikenakan untuk orang pribadi untuk menghindari abuse of power dan memberikan keadilan bagi masyarakat. Oleh karena itu diperlukan peran aktif masyarakat sebagai kontrol eksternal pemerintah dalam melakukan pungutan pajak. Apabila ditemukan penyelewengan atas pungutan pajak, masyrakat dapat melakukan pengaduan kepada Kring Pajak di nomor 1500200.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 358 kali dilihat