Pajak dalam Lontara Masyarakat Bugis
Oleh: (Suwandi), pegawai Direktorat Jende
Negara kita kaya akan budaya. Keberagaman budaya tersebutlah yang kemudian menjelma menjadi jati diri bangsa Indonesia. Jati diri bangsa adalah ciri khas atau identitas yang menandai peradaban suatu bangsa dan budaya merupakan salah satu simbol yang merepresentasikan jati diri itu.
Dalam hal ini, pajak yang merupakan saka guru keuangan negara merupakan bagian dari budaya tersebut. Keberadaan pajak sebagai budaya bangsa juga serta-merta menjadikan pajak sebagai jati diri bangsa. Pajak adalah identitas peradaban yang telah ada di negara kita sejak ratusan tahun lampau.
Dalam tradisi masyarakat Bugis yang mendiami sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, kita menemukan banyak petuah leluhur yang membicarakan kaitan erat antara pajak (sima dalam Bahasa Bugis) dan kehidupan masyarakat.
Beberapa di antaranya dapat kita temukan dalam surek-surek yang merupakan himpunan dari beberapa naskah lontara masyarakat Bugis. Naskah lontara tersebut meliputi naskah Lontara-Lotowa, naskah Lontarakna Labadulla, naskah Lontarakna Saile, naskah Surek-surekna La Nohong, naskah Surek-surekna Ambo Wellang, dan naskah Surek-surekna Kantoro.
Di salah satu bait dari naskah surek-surek, terdapat pernyataan: “Na rekko muasengi waramparammu nala datu e mennang, mabberemu wassolo tana, na iaro mabberemu sima tana, uasengi temmupossolangengto mennang”. Arti dari bait tersebut adalah: “Kalau kamu menganggap hartamu yang diambil oleh raja, sebab kamu menyerahkan hasil bumi, sebenarnya pajak bumi yang kamu serahkan tidaklah membuat kalian binasa”.
Dari sini, kita mendapatkan sebuah petuah leluhur yang luar biasa terkait pajak yang dibayar oleh masyarakat. Pajak tidak akan menjadikan binasa pembayarnya. Pasalnya, jumlah pajak yang dibayar hanya sebesar persentase tertentu dari harta yang dimiliki pembayar pajak. Atas hal ini, sang pembayar pajak seyogyanya tidak akan mengalami kebangkrutan hanya karena membayar pajak.
Justru dengan membayar pajak, masyarakat akan dijauhkan dari kebinasaan. Membayar pajak akan membuat masyarakat meretas jalan menuju kemakmuran bersama. Pajak yang dibayar oleh masyarakat pada akhirnya akan kembali ke masyarakat dalam bentuk program-program pemerintah misalnya proyek pembangunan infrastruktur, penyediaan fasilitas kesehatan dan pendidikan, subsidi, dan masih banyak lagi. Program-program yang dilakukan pemerintah tersebut akan bermuara pada kemaslahatan bersama.
Di bagian lain, naskah surek-surek juga menyatakan: “Nakko engka sejimmu, na engka galummu najama, iarega na tau laing, majeppu ritu temmanyameng ininnawammu na rekko tennawerekko simana galummu, mutau pada-padamusa, masseajittopo”. Dalam terjemahan bebas, bait di atas dapat diartikan: “Kalau ada familimu yang mengerjakan sawahmu atau orang lain, pasti tidak senang perasaanmu apabila ia tidak menyerahkan kepadamu pajak sawahmu, padahal kamu dengan dia sama-sama orang biasa, lagi pula kamu berfamili”.
Petuah tersebut menegaskan bahwa pada zaman dahulu, pajak telah menjadi kredo dalam kehidupan masyarakat Bugis. Pajak adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh siapa pun yang memperoleh penghasilan. Pajak bukanlah suatu beban melainkan merupakan suatu kewajiban. Akan menjadi sesuatu yang tidak patut atau pamali jika kewajiban membayar pajak tersebut tidak dilaksanakan dengan benar.
Di bagian akhir naskah surek-surek juga dinyatakan: “Oncoppisa arung e baccinna nakko temmuerengi simana Tanana” yang berarti: “Tentu saja kemarahan raja akan lebih dari itu apabila kamu tidak memberikan pajak tanahnya”.
Sangat jelas di sini bahwa sejak ratusan tahun silam, pajak telah menjadi bagian dari ketentuan yang harus dipenuhi oleh masyarakat. Kewajiban membayar pajak telah dititahkan oleh raja untuk dilaksanakan secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat. Lebih jauh sebagaimana titah raja, ketentuan atas kewajiban membayar pajak ini disertai dengan sanksi bagi siapa pun yang tidak melaksanakannya.
Pajak adalah sebuah keniscayaan yang telah ada dalam kehidupan leluhur kita sejak ratusan tahun silam. Keberadaan petuah agung yang berkaitan dengan pajak dalam naskah lontara masyarakat Bugis mendeskripsikan bahwa pajak adalah bagian dari budaya leluhur kita yang tidak terpisahkan dari jati diri dan identitas peradaban masyarakat. Sebagai bagian dari budaya, jati diri, dan identitas peradaban, sudah sepatutnya generasi masa kini selalu meneladani petuah tersebut dengan melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 176 kali dilihat