Nostalgia “Pajak Jadian“ dan Realitas Perpajakan
Oleh: Komang Jnana Shindu Putra, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pajak merupakan salah satu aspek penting dalam sistem keuangan negara. Di Indonesia, pajak berperan sebagai sumber utama pendapatan negara untuk membiayai berbagai program pembangunan. Penerimaan pajak menyumbang persentase terbesar terhadap total pendapatan negara dibandingkan dengan jenis pendapatan negara lainnya. Di balik semua itu, terdapat kenangan nostalgia yang menarik untuk diangkat, khususnya di kalangan generasi muda, yaitu istilah “pajak jadian”. Mari kita eksplorasi lebih dalam perpajakan di Indonesia dan bagaimana “pajak jadian” mencerminkan hubungan sosial di kalangan masyarakat.
Apa Itu “Pajak Jadian”?
Istilah “pajak jadian” merujuk pada tradisi di kalangan siswa atau remaja yang meminta traktiran dari teman yang baru saja menjalin hubungan asmara. Ketika seseorang baru memiliki pacar, teman-temannya sering kali meminta “pajak” dalam bentuk makanan atau minuman sebagai ungkapan suka cita atas hubungan baru tersebut. Tradisi ini bukan hanya sekadar permintaan traktir, tetapi juga mencerminkan kebahagiaan kolektif di antara teman-teman.
“Pajak jadian” menjadi simbol dari momen-momen bahagia dalam hidup remaja. Ketika seseorang bahagia karena baru menjalin hubungan, teman-temannya turut merayakan kebahagiaan tersebut dengan cara yang sederhana namun bermakna. Ini mencerminkan adanya dukungan sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Pajak dalam Konteks Hukum dan Ekonomi
Di Indonesia, pajak diatur oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur jenis-jenis pajak, tarif, dan kewajiban perpajakan. Salah satu jenis pajak yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah Pajak Penghasilan (PPh). Regulasi utama yang mengatur PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Undang-undang tersebut mengatur pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dan badan.
Dalam konteks ini, pajak akan muncul sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan ketika individu atau entitas berada dalam keadaan "bahagia" atau menguntungkan. Ketika seseorang mendapatkan penghasilan — misalnya melalui pekerjaan atau usaha — akan terdapat pajak yang harus dibayar. Semakin besar penghasilan yang diterima atau diperoleh, semakin besar pajak yang akan terutang.
Ilustrasi Pembayaran Pajak Saat Rugi
Namun, bagaimana jika seseorang mengalami kerugian? Mari kita lihat contoh seorang pengusaha bernama Evy yang membuka usaha kuliner dan memilih pembukuan sebagai metode penghitungan perpajakannya. Di tahun pertama operasionalnya, Evy menghadapi berbagai tantangan, mulai dari lokasi yang kurang strategis hingga persaingan ketat dari bisnis sejenis. Akibatnya, berdasarkan penghitungan pajak dengan menggunakan metode pembukuan, Evy mengalami kerugian fiskal sebesar Rp50 juta. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh lebih besarnya biaya yang dikeluarkan daripada pendapatan yang ia dapatkan pada tahun tersebut.
Dalam situasi ini, pajak yang harus dibayar oleh Evy akan berbeda dengan saat ia mendapatkan keuntungan. Berdasarkan UU PPh jo. UU HPP, jika Evy tidak memiliki penghasilan lain dan hanya mengalami kerugian dari usahanya, maka dia tidak perlu membayar pajak untuk tahun tersebut. Bahkan, kerugian fiskal tersebut dapat digunakan untuk mengurangi pajak di tahun-tahun berikutnya jika usahanya mulai menghasilkan keuntungan.
Ini menunjukkan bahwa sistem perpajakan di Indonesia berusaha untuk adil. Ketika seseorang mengalami kesulitan finansial akibat kerugian yang dialami, mereka tidak dibebani dengan kewajiban pajak yang tidak mampu mereka bayar.
Pajak dan Kesejahteraan Sosial
Pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah digunakan untuk membiayai berbagai program sosial dan pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, meskipun pajak sering kali dianggap sebagai beban, pada kenyataannya pajak berperan penting dalam menciptakan kesejahteraan umum. Dalam konteks “pajak jadian”, kita dapat melihat bagaimana kebahagiaan individu dapat berkontribusi pada kebahagiaan kolektif. Ketika satu orang bahagia karena memiliki pacar, teman-temannya pun ikut merasakan kebahagiaan tersebut melalui tradisi traktir.
Kesimpulan
Perpajakan di Indonesia memiliki banyak dimensi, mulai dari aspek hukum hingga dampaknya terhadap masyarakat. Istilah “pajak jadian” menciptakan jembatan antara realitas perpajakan dan kenangan masa sekolah yang penuh warna. Momen-momen seperti ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap kewajiban perpajakan terdapat nilai-nilai sosial yang lebih dalam —bahwa pajak bukan hanya tentang angka dan regulasi, tetapi juga tentang bagaimana kita saling berbagi kebahagiaan dalam kehidupan bermasyarakat kita.
Dengan memahami bagaimana pajak bekerja dalam berbagai keadaan — baik saat kita untung maupun rugi — kita dapat lebih menghargai pentingnya kontribusi kita terhadap negara. Pajak bukan hanya kewajiban, melainkan juga bagian dari perjalanan hidup kita yang penuh warna dan makna. Jadi, kapan kita “jadian”?
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 170 kali dilihat