Menimbang Pajak Royalti

Oleh: Ahmad Dahlan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Protes tentang pajak penulis yang disuarakan oleh Tere Liye (TL) beberpa hari lalu masih menggema hingga hari ini. Diskusi di kantor, di grup-grup WA dan di media sosial banyak membahas tentang ini. Tak ayal beberpa penulis terkenal pun ikut menyuarakan pendapatnya, salah satunya Dee Lestari. Pangkal persoalannya sebenarnya sudah jelas dan mengerucut yaitu pada substansi royalti yang diterima oleh penulis.

Selama ini pihak DJP berkutat pada persoalan legal formal, sesuai aturan undang-undang bahwa penghasilan yang diterima penulis itu sebagai passive income, yang oleh karenanya perlakuan pajaknya disamakan dengan jenis royalti yang lain seperti royalti atas hak paten, hak merek dan sebagainya. Karena passive income, penghasilan penulis ini dianggap sebagai penghasilan neto sehingga untuk menghitung pajaknya tidak lagi dikurangi biaya-biaya.

Tapi tidak demikian dengan maunya TL dan mungkin penulis lain, menurutnya royalti penulis ini secara substansi bukan passive income, tapi active income, karena untuk memperolehnya dibutuhkan biaya seperti riset, bahkan katanya ada penulis yang membutuhkan waktu 5 sampai 10 tahun untuk riset sebelum mulai menulis. Karena sifatnya active income maka royalti penulis ini tidak seharusnya diperlakukan sebagai penghasilan neto, tapi sebagai penghasilan bruto sehingga untuk menghitung pajaknya harus dikurangi dulu dengan biaya, sehingga pajaknya lebih kecil.

Dalam tulisan terakhirnya, penulis yang sering dikira perempuan oleh penggemarnya itu menganalogikan royalti yang diterima penulis ini sebagai tomat. Secara ilmiah tomat memang buah-buahan, tapi menurut pelaku bisnis tomat merupakan sayuran, karena pas masuk dapur, kebanyakan tomat itu dijadikan bahan masakan, bukan buah yang langsung dimakan. Pada akhirnya secara institusi, DJP mengeluarkan pernyataan melalui press release dan surat resmi yang mengakomodir upaya keadilan TL.

Dalam surat itu dijelaskan bahwa penghasilan yang diterima penulis dikelompokkan ke dalam penghasilan dari pekerjaan bebas sehingga untuk menghitung pajaknya dikurangi dulu dengan biaya, baik melalui pengurangan secara langsung (melalui pembukuan) atau melalui mekanisme NPPN (norma penghitungan). Meski demikian, kisruh ini belum sepenuhnya reda. 

Teman-teman di DJP pada tataran "pelaksana lapangan" masih sedikit tidak rela dengan hilangnya sebagian potensi penerimaan pajak dari royalti penulis, apalagi dengan target penerimaan pajak yang dibebankan pemerintah semakin berat. Tapi apakah benar dengan berkurangnya penerimaan pajak dari royalti ini berarti penerimaan pajak secara keseluruhan berkurang? Saya akan mencoba melihatnya dari sisi yang lebih luas, mari...!

Dalam dunia investasi sering kita dengar nasehat bijak, "Jangan menyimpan telur dalam satu keranjang," karena kalau keranjang itu jatuh maka pecahlah semua telur. Dalam perpajakan, agaknya analogi telur ini bisa digunakan, lebih tepatnya saya paksankan untuk digunakan, Anda boleh tidak setuju. Penerimaan pajak kita tidak hanya bersumber dari royalti penulis, tapi masih ada seabrek "keranjang" yang lain. Pun tidak hanya bersumber dari satu sisi penerima penghasilan, tapi dari sisi pengeluaran juga, yaitu pajak atas konsumsi (PPN dan PPnBM).

Berkurang dari satu sumber pajak penghasilan, bisa berpotensi bertambahnya pajak penghasilan dari sumber lain, bisa juga menambah PPN. Misalnya, kebijakan menaikkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) memang secara otomatis mengurangi potensi PPh, utamanya PPh Pasal 21 atas karyawan. Di lihat dari sisi karyawan, kebijakan ini tentu saja menguntungkan karena pajak atas gaji berkurang, malahan ada yang jadi nihil, sehingga gaji yang diterimanya jadi lebih besar. Jika selisih ini dibelanjakan maka ada potensi penerimaan PPN di sana. Lebih jauh lagi, penurunan pajak ini mengakibatkan peningkatan daya beli masyarakat sehingga pelaku usaha bergerak ke arah positif, yang pada akhirnya meningkatkan penerimaan PPh dari sektor usaha. 

Contoh lainnya, kebijakan penghapusan barang-barang elektronik dan tas bermerk dari daftar barang mewah, mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak jenis PPnBM. Tapi bisa jadi berpotensi meningkatkan penerimaan pajak dari sektor lain, karena dengan harga barang-barang itu jauh lebih murah, masyarakat yang tadinya tidak mampu beli, berbondong-bondong berbelanja sehingga omzet penjual meningkat.

Nah, demikian halnya dengan kebijakan pajak penulis ini, yang mengakibatkan berkurangnya sebagian PPh atas royalti, akan berpotensi meningkatkan pajak-pajak lainnya Misalnya seperti contoh di atas, jika atas selisih pajak royalti ini dibelanjakan maka akan meningkatkan penerimaan PPN sekaligus meningkatkan penerimaan PPh dari sektor usaha. Malahan bagi penulis besar seperti TL, yang selisih pajak royaltinya besar berpeluang untuk di-saving, yang oleh karenanya berpotensi meningkatkan PPh atas tabungan sekaligus meningkatkan PPh dari sektor usaha perbankan.

Tentu saja kebenarannya harus dibuktikan dengan data empiris. Perlu dilakukan penelitian menggunakan minimal tiga variabel, yaitu variabel bebas (X), variable terikat (Y) dan variable intervening (Z), dengan analisis jalur maupun regresi. Misalnya, "Pengaruh stimulus pajak (X) terhadap daya beli masyarakat (Z) dan implikasinya terhadap penerimaan pajak(Y). (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.