Memahami Penurunan Tarif PPN Vietnam
Oleh: (Muhammad Rakha Ishlah Adimad), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tengah ramai diperbincangkan penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Vietnam menjadi 8%. Santer, hal tersebut memicu reaksi masyarakat di tengah pelaksanaan penyesuaian tarif PPN di Indonesia menjadi 12%. Namun, ada paham yang luput dari perhatian masyarakat sehingga netizen hanya larut dalam riak pemberitaan di jagat maya.
Mengutip vietnamlawmagazine.vn tanggal 9 Januari 2024 dengan judul “What is the appropriate VAT threshold for business households?”:
“Under the current Law on Value-Added Tax (VAT), which was enacted more than 15 years ago in 2008, the VAT threshold applicable to business households and individuals is VND100 million per year. In other words, any business household or individual that earns a turnover of roughly VND280,000 per day will be liable to VAT. In the latest draft of the VAT Law, the Government proposed doubling the VAT threshold for these subjects to VND200 million per year.”
Ternyata, pemerintah Vietnam menerapkan batas registrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sejak 2008 sebesar 100 juta VND setahun (Dong Vietnam; mata uang Vietnam) dan berencana untuk menaikan batas tersebut menjadi 200 juta VND setahun. Jika kita konversikan ke rupiah, saat ini Vietnam menerapkan batas registrasi PPN sekitar Rp63 juta dan rencananya akan disesuaikan menjadi kurang lebih Rp126 juta. Dalam hal ini, batas registrasi PPN adalah ambang batas penjualan bagi pengusaha yang diwajibkan untuk melakukan pemungutan PPN. Jika pengusaha telah memiliki penjualan yang melebihi ambang batas, pengusaha tersebut wajib mengenakan PPN kepada pembeli ketika membeli barang yang ia jual.
Di Indonesia, kita menyebut pengusaha yang memungut PPN tersebut sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Saat ini, Indonesia mengenakan ambang batas pengusaha yang wajib PKP senilai Rp4,8 miliar. Artinya, pengusaha yang memiliki omzet lebih dari Rp4,8 miliar dalam setahun wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan menjadi PKP dan diwajibkan untuk memungut PPN. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Kewajiban Pelaporan Usaha untuk Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Jika kita bandingkan dengan Vietnam, nilainya sangat jauh. Apa implikasinya? Jika kita beri ilustrasi sederhana, apabila batas registrasi PPN Vietnam diterapkan di Indonesia, transaksi jual beli yang dilakukan oleh penjual dengan omzet yang mencapai Rp63 juta setahun atau Rp10,5 juta sebulan akan dikenakan PPN. Dengan kata lain, kemungkinan warung/toko kelontong/kios tempat berbelanja diwajibkan untuk memungut PPN akan jauh lebih besar. Akibatnya, harga barang bahkan di tempat penjualan dengan skala yang lebih kecil dapat menjadi lebih tinggi. Tanpa perlu belanja ke minimarket/supermarket, beban PPN akan dirasakan sampai toko kelontong atau bahkan warung di kampung dekat tempat tinggal kita.
Di sinilah letak kesalahpahaman atau fallacy yang terjadi di masyarakat kita saat ini. Keluhan yang digaungkan terhadap penyesuaian tarif PPN 12% di Indonesia yang dibandingkan dengan penyesuaian tarif PPN Vietnam 8% tidak cukup beralasan. Pasalnya, ambang batas registrasi PKP di Vietnam jauh lebih rendah daripada di Indonesia. Dengan kata lain, kebijakan yang akan kita terapkan di Indonesia pada dasarnya telah berpihak kepada masyarakat.
Kesalahpahaman kedua yang ditimbulkan akhir-akhir ini adalah pemahaman yang beranggapan bahwa kenaikan tarif PPN berimbas pada semua transaksi jual beli. Padahal, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ambang batas registrasi PPN sebesar Rp4,8 miliar setahun di Indonesia menyebabkan tidak semua tempat penjualan mengenakan PPN. Konsumen tidak akan dibebankan PPN di semua tempat di mana mereka melakukan pembelian, melainkan hanya di tempat di mana penjualnya yang sudah dikukuhkan sebagai PKP saja. Tidak hanya Vietnam yang dapat kita jadikan perbandingan. Thailand dan Filipina sebagai contoh negara di Asia Tenggara yang dapat diasumsikan memiliki keadaan ekonomi yang serupa dengan Indonesia, juga dapat kita jadikan perbandingan. Thailand dan Filipina memiliki ambang batas registrasi yang juga lebih rendah daripada Indonesia, yaitu hanya sekitar USD50.000 atau sekitar Rp800 juta.
Pun jika penjual di setiap rantai distribusi telah menjadi PKP dan melakukan pemungutan PPN, kesalahpahaman yang ketiga adalah ketidaktahuan terkait sifat PPN yang tidak kumulatif karena penerapan metode indirect substraction method (metode pengurangan tidak langsung). Secara sederhana, metode tersebut memungkinkan PPN yang telah dipungut PKP dari pembeli (output tax atau pajak keluaran) sebelum disetor ke kas negara, dikurangi (dikreditkan) dahulu dengan pajak yang telah dibayar PKP saat perolehan atau pembelian barang dari PKP sebelumnya (input tax atau pajak masukan).
Konsekuensi logis terhadap hal tersebut adalah stabilitas harga. Artinya, pengenaan PPN tidak akan berdampak signifikan terhadap harga yang dibebankan kepada konsumen. Pasalnya, PPN bukanlah seperti Pajak Penjualan (PPn) yang bersifat kumulatif. Sebelum PPN berlaku pada tahun 1984 melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN), Indonesia telah terlebih dahulu menerapkan Pajak Penjualan melalui Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 (UU PPn). Berbeda dengan PPN, PPn tidak memungkinkan penjual untuk mengkreditkan pajak masukan terhadap pajak keluaran. Akibatnya, semakin panjang rantai distribusi, semakin tinggi pajak yang akan ditanggung oleh konsumen di samping harga barang yang ditetapkan oleh penjual. Sederhananya, dalam pengenaan PPn, harga yang dibebankan kepada konsumen memuat unsur margin keuntungan penjual dan pajak. Sementara itu, dalam pengenaan PPN, harga yang dibebankan hanya memuat unsur margin keuntungan penjual saja.
Rumput tetangga memang akan selalu lebih hijau. Dengan melihatnya, kita akan menjadi sering lupa untuk menyirami dan merawat atau bahkan memangkas rumput sendiri. Penurunan tarif PPN Vietnam menjadi 8% dengan batas registrasi pemungut PPN yang hanya sebesar Rp63 juta setahun tidak akan sebanding dengan penyesuaian tarif PPN Indonesia menjadi 12% dengan batas registrasi pemungut PPN sebesar Rp4,8 miliar setahun. Pemerintah sedang dan akan terus berupaya menghadirkan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran warganya sampai kapan pun. Sebagai warga negara, kita perlu menghadirkan optimisme terhadap arah dan kebijakan pemangku kepentingan yang telah kita beri mandat dan amanah. Dengan begitulah, budaya gotong royong akan terus terjaga untuk mewujudkan Indonesia maju dan sejahtera.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 372 kali dilihat