Oleh: Eko Priyono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Perubahan besar dalam tata kelola pajak nasional kembali hadir dengan diberlakukannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Klaster Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 1 April 2022. Salah satu perubahan signifikan adalah pengenaan PPN pada bahan kebutuhan pokok yang sebelumnya masuk kategori barang tidak kena pajak (non-BKP). Transformasi ini menimbulkan polemik di masyarakat, khususnya di kalangan pelaku usaha dan konsumen. Namun, jika ditinjau dari perspektif utilitarianisme Jeremy Bentham, kebijakan ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mencapai keadilan melalui manfaat terbesar bagi masyarakat luas.

Di bawah regulasi sebelumnya, yakni UU Nomor 42 Tahun 2009, bahan kebutuhan pokok seperti beras dan jagung masuk dalam kategori non-BKP. Artinya, transaksi atas barang-barang tersebut tidak terutang PPN. Dengan berlakunya UU HPP, klausul bahan kebutuhan pokok dihapus dari daftar barang non-BKP. Kini, bahan kebutuhan pokok digolongkan sebagai BKP, sehingga penyerahannya terutang PPN. Namun, pemerintah memberikan fasilitas PPN Dibebaskan untuk bahan kebutuhan pokok yang tergolong strategis. Meski demikian, pengusaha yang memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) tetap diwajibkan membuat faktur pajak dan menjalankan kewajiban administrasi lainnya.

Menurut Jeremy Bentham, keadilan dapat dicapai ketika kebijakan memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk sebanyak mungkin orang. Dalam konteks ini, pengenaan PPN pada bahan kebutuhan pokok dimaksudkan untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan negara. Penerimaan ini kemudian dapat digunakan untuk mendanai berbagai program sosial dan pembangunan yang manfaatnya dirasakan oleh masyarakat luas, terutama kelompok yang rentan.

UU HPP juga mengubah aturan mengenai pengusaha yang harus dikukuhkan sebagai PKP. Pengusaha diwajibkan mengajukan pengukuhan sebagai PKP jika omzet dalam satu tahun telah mencapai Rp4,8 miliar. Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP, termasuk bahan kebutuhan pokok, dan memenuhi syarat omzet, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Sebagai bagian dari pelaksanaan UU HPP, pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2023 memberikan relaksasi batas waktu pengukuhan PKP. Pengusaha dapat mengajukan pengukuhan PKP paling lambat pada akhir tahun buku, memberikan fleksibilitas bagi pelaku usaha untuk mempersiapkan diri. Dari sudut pandang utilitarianisme, relaksasi ini mencerminkan upaya pemerintah untuk mengurangi potensi kerugian yang dapat dialami oleh pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM). Dengan memberikan waktu yang lebih fleksibel, pengusaha memiliki kesempatan untuk menyesuaikan diri tanpa mengganggu kelangsungan usahanya.

Sebagai konsekuensi dari perubahan ini, PKP yang melakukan penyerahan bahan kebutuhan pokok wajib membuat faktur pajak meskipun bahan tersebut mendapat fasilitas PPN Dibebaskan. Faktur pajak ini menggunakan kode transaksi khusus (kode 08) dan harus memenuhi ketentuan administrasi tertentu, termasuk mencantumkan informasi dasar seperti identitas pembeli dan rincian transaksi. Untuk mempermudah administrasi, PKP yang bertransaksi langsung dengan konsumen akhir dapat membuat Faktur Pajak Pedagang Eceran, yang lebih sederhana karena tidak memerlukan identitas pembeli.

Dalam kerangka utilitarianisme, kewajiban ini diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem perpajakan. Transparansi ini penting untuk memastikan bahwa manfaat pajak benar-benar dapat dialokasikan secara efisien untuk kesejahteraan masyarakat. Transformasi ini memunculkan beberapa tantangan, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM). Beban administrasi tambahan, seperti pembuatan faktur pajak dan pelaporan, menjadi kendala utama. Selain itu, meskipun bahan kebutuhan pokok dibebaskan dari PPN, penggolongannya sebagai BKP menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa harga barang akan naik. Jika dikelola dengan buruk, kebijakan ini dapat menimbulkan ketidakpuasan yang meluas, bertentangan dengan prinsip utilitarianisme yang berusaha memaksimalkan kebahagiaan. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa pengusaha mendapat edukasi yang memadai dan masyarakat memahami tujuan dari kebijakan ini.

Kebijakan ini dirancang untuk meningkatkan penerimaan negara melalui perluasan basis pajak, namun harus diimbangi dengan perlindungan terhadap kelompok rentan. Pemerintah perlu memastikan bahwa pelaku usaha, khususnya UMKM, mendapatkan edukasi dan pendampingan dalam memahami dan menjalankan kewajiban baru ini. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk terus memantau dampak kebijakan ini terhadap harga bahan kebutuhan pokok dan daya beli masyarakat. Pengawasan yang ketat dan pemberian insentif kepada pelaku usaha dapat menjadi langkah strategis untuk mengurangi dampak negatif kebijakan ini. Jika diterapkan dengan baik, kebijakan ini dapat menciptakan keseimbangan antara kebutuhan fiskal negara dan kesejahteraan masyarakat. Dalam kerangka pemikiran Jeremy Bentham, keadilan tercapai ketika hasil kebijakan memberikan manfaat yang lebih besar daripada beban yang ditanggung oleh individu atau kelompok tertentu.

UU HPP Klaster PPN membawa perubahan fundamental yang bertujuan memperkuat sistem perpajakan nasional. Meski menuai polemik, kebijakan ini dapat memberikan manfaat besar jika diimplementasikan dengan baik. Dengan edukasi, pendampingan, dan pengawasan yang efektif, pemerintah dapat menjembatani kepentingan fiskal negara dan kebutuhan masyarakat. Transformasi ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk menciptakan sistem pajak yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan. Dalam kerangka teori utilitarianisme Jeremy Bentham, kebijakan ini dapat dianggap adil jika manfaat yang dihasilkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, terutama melalui penggunaan penerimaan pajak untuk kepentingan publik.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.