Berikan Kebijakan PPN Ruang dan Waktu
Oleh: (Ivan Hanifa Rahman), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Akhir-akhir ini, isu penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mencuat sebagai bahan perbincangan hangat di masyarakat. Penyesuaian tarif ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN/PPnBM) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU HPP disahkan pada tahun 2021 dengan latar belakang bahwa penerimaan negara perlu ditingkatkan mengingat semakin meningkatnya kebutuhan belanja negara.
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN/PPnBM jo. UU HPP disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 12% berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025. Pada ayat (3) disebutkan bahwa ketentuan tarif tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Akan tetapi, pada ayat (4) disebutkan bahwa perubahan tarif tersebut hanya dapat dilakukan dengan menerbitkan peraturan pemerintah setelah dibahas dan disepakati dengan Dewan Perwaiklan Rakyat (DPR) dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Namun saat ini, APBN Tahun Anggaran 2025 sudah selesai dibahas dan disahkan melalui Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025 pada tanggal 17 Oktober 2024.
Untuk itu, dalam kondisi yang sudah mendekati akhir tahun, agaknya hampir mustahil dilakukan penerbitan aturan yang membatalkan penyesuaian tarif PPN menjadi 12%. Pasalnya, dalam waktu yang sangat singkat ini, pemerintah harus membahas dan menyepakati lagi peraturan pemerintah yang baru. Selain itu, Pemerintah dan DPR harus menyusun dan mengesahkan kembali APBN Tahun Anggaran 2025 yang baru dengan merombak ulang komponen belanja negara.
Pengesahan kembali tersebut termasuk di dalamnya perombakan anggaran pengangkatan guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), dan anggaran bantuan sosial. Pemerintah bisa saja tidak merombak komponen belanja negara, yaitu dengan meningkatkan komponen utang negara. Akan tetapi, opsi ini tidaklah efektif dan prudent mengingat utang negara kita sudah cukup besar.
Dalam menanggapi penyesuaian tarif PPN menjadi 12%, Pemerintah juga sudah merilis Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan. Di dalamnya, terdapat program bantuan pangan, PPN Ditanggung Pemerintah 1% untuk tepung terigu, gula industri, dan Minyak Kita, diskon listrik, perpanjangan Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5% untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), hingga PPN Ditanggung Pemerintah untuk pembelian rumah.
Menurut teori ekonomi, menaikkan pajak memang akan memberikan efek dead weight loss – penurunan output ekonomi. Akan tetapi, apabila penerimaan pajak tersebut digunakan kembali untuk merangsang aktivitas ekonomi, pada akhirnya perekonomian secara agregat bisa saja akan tumbuh lebih baik. Hal ini terbukti pada tahun 2022 lalu. Walaupun saat itu PPN tarif juga mengalami penyesuaian dari 10% menjadi 11%, data perekonomian Indonesia saat itu menunjukkan pertumbuhan sebesar 5,31% yang merupakan rekor pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tertinggi sejak tahun 2016 (Badan Pusat Statistik, 2023).
Melihat kondisi di atas, ketentuan penyesuaian PPN ini memang harus tetap dijalankan namun dengan monitoring dan evaluasi yang ketat. Pemerintah harus secara saksama memperhatikan kondisi ekonomi Indonesia pada tahun 2025. Apabila ditemukan kondisi bahwa penyesuaian tarif PPN menjadi faktor utama kelesuan ekonomi, pemerintah dapat menerbitkan peraturan pemerintah yang menyesuaikan kembali tarif PPN dan menyusun APBN Perubahan sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 7 UU PPN/PPnBM jo. UU HPP.
Secara kasat mata, suatu kebijakan terkadang memang terlihat counter intuitive dengan tujuannya. Akan tetapi, setelah diberi ruang dan waktu, kebijakan tersebut ternyata dapat menghasilkan manfaat yang sangat besar sesuai dengan tujuan awal pembuatnya. Hal yang perlu dilakukan adalah memberikan kebijakan tersebut ruang dan waktu untuk berjalan, lalu mengevaluasi secara berkala racikan kebijakan tersebut. Apabila ditemukan indikasi bahwa kebijakan tersebut tidak pas atau tidak sesuai dengan rencana, barulah lakukan improvisasi dan perbaikan agar kebijakan tersebut menjadi pas serta dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 4893 kali dilihat