Aksesi ke OECD: Timbang-Timbang Relevansi, Peluang, dan Tantangan bagi Perpajakan Indonesia
![](/sites/default/files/styles/max_650x650/public/2024-12/COOPERATION.jpg?itok=bSuux2wi)
Oleh: Ferga Aristama, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tak lama sejak dilantik, Presiden Prabowo Subianto menyatakan adanya rencana aksesi Indonesia ke Organisation For Economic Co-Operation and Development (OECD). Pernyataan tersebut tidak hanya dibahas sebagai headline pada media massa namun juga menjadi diskursus di dunia bisnis, perguruan tinggi dan non-governmental organization. Sebelumnya Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro telah menyampaikan rencana tersebut pada the 2019 OECD Ministerial Meeting di Paris. Open accession discussions pada Februari 2024 lalu juga telah dimulai. Dukungan kuat Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, yang dituangkan dalam joint statement pada November lalu dapat menguatkan kepercayaan diri Indonesia untuk diterima sebagai negara anggota OECD. Dengan bergabungnya Indonesia ke OECD, desain kebijakan ekonomi dan pembangunan Indonesia, termasuk sektor perpajakan, diperkirakan akan ikut mengalami transformasi.
Relevansi
OECD merupakan organisasi internasional yang bertujuan untuk mempromosikan desain kebijakan ekonomi dan pembangunan bagi anggotanya. Dirancang sebagai organisasi yang mulanya bertugas menjalankan pengelolaan administrasi Marshall Plan pascaperang dunia pertama, OECD telah mengalami transformasi organisasi. Pertama, OECD, yang sebelumnya bernama the Organisation for European Economic Co-operation (OEEC), awalnya secara ekslusif terdiri atas negara anggota Global North, kini menjadi lebih inklusif dengan diterimanya keanggotaan negara-negara Global South. Kedua, OECD memperluas isu yang dibahas, dari semula ekonomi makro menjadi isu-isu pembangunan termasuk administrasi perpajakan.
Sebagai organisasi internasional, OECD menjalankan perannya sebagai a think-tank organization maupun a club of best practices. Ia menjadi forum di mana negara saling bertukar informasi, melaksanakan konsultasi, studi, proyek, serta tindakan yang terkordinasi melalui kerangka the OECD’s way of working dan Dimensional Framework of OECD. Selain kontribusi anggaran yang bersifat sukarela, setiap anggota OECD diminta untuk bertukar data dan informasi, pengalaman, gagasan, serta ide pada diskusi dalam komite dan kelompok kerja untuk menghasilkan rekomendasi yang disepakati bersama. Rekomendasi yang dilahirkan akan menjadi standar yang mengikat negara anggotanya, termasuk di bidang perpajakan. Meskipun tidak memiliki fungsi pengaturan, OECD secara kelembagaan akan melakukan pemantauan terhadap implementasi standar yang ditetapkan tersebut.
Peluang dan Tantangan
Sejarah panjang OECD telah menunjukan jati dirinya sebagai komunitas “rich-country club” dan “like-minded” yang berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi dan pro-pasar. Bergabungnya Indonesia ke OECD menciptakan peluang bagi administrasi perpajakan Indonesia. Pertama, forum OECD dapat membantu Indonesia untuk merekomendasikan serta melakukan asistensi sejumlah kebijakan. Kebijakan tersebut diharapkan bersifat lean taxation yang menekan biaya administrasi perpajakan, pro-growth terhadap bisnis, dan adaptive terhadap perubahan teknologi. Kedua, Indonesia dapat memanfaatkan strategi widening terkait kerja sama pertukaran data dan perpajakan internasional, yang antara lain untuk melawan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Ketiga, terbuka peluang bagi Indonesia dalam meningkatkan reputasinya sebagai negara kunci dalam perumusan kebijakan perpajakan dengan berbagi pengalaman, sehingga menaikkan tingkat kepercayaan global.
Akan tetapi, administrasi perpajakan Indonesia diperkirakan menghadapi tantangan dengan bergabungnya Indonesia ke-OECD. Pertama, Indonesia perlu melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem perpajakan sesuai standar dan rekomendasi OECD. Tentu hal ini membutuhkan alokasi waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Kedua, terdapat kemungkinan adanya pertentangan domestik dalam menyelaraskan rekomendasi OECD ke dalam hukum nasional, sehingga membutuhkan strategi hubungan masyarakat yang semakin proper. Ketiga, diperlukan sumber daya manusia Indonesia yang tidak hanya memahami perpajakan, tetapi juga strategi diplomasi yang andal. Peluang ini dapat kita manfaatkan untuk memperjuangkan kepentingan nasional perpajakan, di tengah hegemoni negara-negara besar di OECD.
Dengan demikian, bergabungnya Indonesia ke OECD tidak hanya membawa peluang tetapi juga tantangan bagi administrasi perpajakan Indonesia. Pengalaman panjang Indonesia sebagai negara mitra OECD sejak 2007, serta kepemimpinan Indonesia dalam berbagai forum internasional sejak era kemerdekaan, menjadi modal cukup bagi Indonesia untuk dapat mengoptimalisasi fungsi forum OECD. Hal ini tentunya dapat mendorong reformasi administrasi perpajakan yang selaras dengan kepentingan nasional Indonesia. Reformasi perpajakan yang terus digulirkan sejak puluhan tahun silam hingga saat ini menjadi fondasi dasar bagi administrasi perpajakan Indonesia yang agile sehingga siap menghadapi perubahan.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 308 kali dilihat