Kurungan

Oleh: Tim Subdirektorat Penyidikan Direktorat Penegakan Hukum DJP

Sejatinya, penegakan hukum pidana di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak akan sempurna jika tidak diikuti oleh perwujudan pemulihan kerugian pada pendapatan negara. Penegakan hukum pidana yang diakhiri hukuman badan (pidana penjara atau kurungan) tanpa penerapan pemulihan kerugian pada pendapatan negara adalah kesia-siaan. Penerapan ini sesungguhnya membuat penegakan hukum pidana di DJP menjadi ideal dan seimbang. Hal inilah yang disebut dengan penegakan hukum pidana di bidang perpajakan berbasis pemulihan kerugian pada pendapatan negara.

Kondisi ideal dan seimbang tersebut di atas tidak lepas dari faktor bawaan (inherent) yang melekat dalam kegiatan penegakan hukum pidana di bidang perpajakan. Faktor bawaan tersebut meliputi: 1) postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di mana sekitar 70,5 persen pendapatan negara di APBN ditopang oleh penerimaan pajak; 2) fungsi budgeter, bahwa pajak sebagai alat memasukkan sebanyak-banyaknya uang ke kas negara untuk membiayai pengeluaran negara; 3) tugas DJP, untuk menghimpun penerimaan pajak demi kemandirian pembiayaan negara dan 4) kebutuhan sumber pendanaan untuk mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Berdasarkan faktor bawaan tersebut, penegakan hukum pidana seharusnya tidak bisa lepas dari upaya menghimpun penerimaan pajak.

Penegakan hukum pidana di bidang perpajakan berbasis pemulihan kerugian pada pendapatan negara dapat menggunakan pendekatan restorative justice dan asset recovery. Pendekatan restorative justice diimplementasikan melalui pengungkapan ketidakbenaran perbuatan (Pasal 8 ayat (3) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) jo. UU Cipta Kerja) atau permohonan penghentian penyidikan (Pasal 44B UU KUP jo. UU Cipta Kerja) melalui pelunasan kerugian pada pendapatan negara dan sanksi administratif berupa denda. Sedangkan pendekatan asset recovery diimplementasikan melalui pembayaran pidana denda oleh terpidana (voluntarily) atau perampasan atau sita eksekusi terhadap harta kekayaan terpidana jika pidana denda tidak dibayar (forcing). Pendekatan asset recovery membutuhkan penguatan wewenang penyidik pajak untuk mengamankan harta kekayaan sejak dini dengan melakukan penyitaan harta kekayaan dalam penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atau penyidikan tindak pidana pencucian uang dengan pidana asal tindak pidana di bidang perpajakan.

Upaya mewujudkan penegakan hukum pidana di bidang perpajakan berbasis pemulihan kerugian pada pendapatan negara menemui beberapa tantangan. Pasal 30 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan. Ketentuan tersebut banyak menjadi pertimbangan hakim dalam perkara pidana di bidang perpajakan untuk menjatuhkan putusan pidana denda disubsider dengan pidana kurungan. Akibatnya, negara justru menambah pengeluaran untuk membiayai narapidana dan tidak menerima penerimaan dari pemulihan kerugian pada pendapatan negara.

Pembayaran pidana denda menjadi krusial sejak dihapusnya instrumen menagih pokok pajak dalam perkara pidana dengan Undang-Undang Cipta Kerja, yaitu Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 15 ayat (4). Sebelumnya, pokok pajak akan ditagih oleh DJP apabila perbuatan pidana terbukti bersalah dan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun, sekarang sudah tidak ada lagi instrumen untuk menagih pokok pajak saat perkara pidana telah inkracht. Oleh karena itu, jika wajib pajak, tersangka atau terdakwa tidak memanfaatkan ketentuan Pasal 44B, satu-satunya harapan pemulihan kerugian pada pendapatan negara berasal dari pembayaran pidana denda.

Berdasarkan prinsip rasionalitas dan efisiensi dalam analisis ekonomi atas hukum pidana, pelaku tindak pidana di bidang perpajakan akan cenderung memilih melanjutkan perkara ke pengadilan daripada mengeluarkan uang dalam rangka penghentian penyidikan (Pasal 44B UU KUP jo. UU Cipta Kerja). Kondisi pidana denda disubsider pidana kurungan menjadi pemicu pelaku tindak pidana memperhitungkan cost and benefit, antara perkara lanjut ke persidangan dan divonis pidana denda disubsider pidana kurungan atau melunasi kerugian pada pendapatan negara ditambah sanksi administratif berupa denda agar penyidikan dihentikan. Faktanya, pemulihan kerugian pada pendapatan negara dari pelunasan kerugian pada pendapatan negara ditambah sanksi administratif berupa denda Pasal 44B masih sangat kecil jumlahnya.

Penanganan perkara pidana di bidang perpajakan berpedoman pada asas lex specialis derogate legi generalis, sebuah asas hukum yang bermakna bahwa aturan hukum yang umum (KUHAP/KUHP) tetap berlaku, kecuali diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut (UU KUP). Berdasarkan hal tersebut, untuk mengatasi tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan penegakan hukum pidana berbasis pemulihan kerugian pada pendapatan negara, perlu dibuat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang menyimpangi Pasal 30 ayat (2) KUHP. Bahwa pidana denda tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana, baik sesudah maupun pada saat persidangan. Kemudian, untuk mengimplementasikan pendekatan asset recovery, dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda berdasarkan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, maka jaksa akan melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan terpidana untuk membayar pidana denda tersebut. Ketentuan tersebut diharapkan mendorong pelaku tindak pidana sejak dini melakukan pelunasan kerugian pada pendapatan negara dan sanksi administratif berupa denda. (rpd)

Tags