UMKM Orang Pribadi Mau Lapor Pajak? Begini Hitungannya

Oleh: Yackobus Sahat Martua Sianipar, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Hari libur siang itu, cuaca terasa sangat terik dan panas. Terlebih lagi, saat ini adalah bulan puasa yang mengharuskan Anton, yang merupakan seorang insan pajak, untuk menahan nafsu, lapar, dan haus. Setelah bangun tidur siang, Anton merasa terdorong untuk berkeliling ke Pusat Jajanan dan Alun-alun sambil bersepeda. Terlihat banyak penjual takjil sedang mempersiapkan dagangannya.
Tidak jauh dari situ, tampak spanduk dari salah satu KPP yang menyuarakan “Lapor SPT, sebelum terlambat”. Terdengar pula oleh Anton bahwa beberapa pedagang sedang membicarakan pajak tersebut sembari menyiapkan jualannya.
“Pak, udah lapor SPT belum? Situ baru buat NPWP kan?” kata Pak Irwan seorang pedagang jajanan. SPT yang dimaksud adalah surat pemberitahuan, yakni formulir pelaporan pajak. Sedangkan NPWP adalah nomor pokok wajib pajak yang menjadi nomor identitas dalam menyelenggarakan hak dan kewajiban perpajakan.
“Iya, Bu. Belum nih, Bu Yen. Gak paham juga saya gimana dan apa yang harus dilaporkan,” sahut pedagang lainnya.
“Iyo ya, kenapa ribet banget harus lapor-lapor begini, belum lagi harus menghitungnya, aduh lebih cepat saya menggoreng risol dari pada lapor pajak,” timpal Bu Yen.
Mendengar hal itu, Anton sebagai insan pajak yang memiliki semangat tinggi, menghampiri pedagang tersebut dengan maksud mengedukasi mereka sambil membeli takjil untuk berbuka.
“Bu… mau risol 17 biji, kue lapis legit 7, bika ambon 10 ya,” kata Anton
“Banyak amat mas, untuk sendiri nih?”
“Gak Bu, untuk teman-teman saya di mess yang dekat KPP.”
“Ohh Masnya pegawai pajak ya?” tanya Bu Yen.
“Iya Bu,” jawab Anton, “tadi juga saya dengar-dengar Bapak-Ibu lagi asyik ngobrolin pajak tuh.”
“Iya, Mas. Kami bingung ngitungnya gimana, lapornya gimana. Apalagi kami kan cuman pedagang begini aja, musiman lagi, paling pas bulan puasa doang mah kami jualannya,” kata Bu Yen.
“Iya mas, bisalah sekalian ajarin kita gimana,” timpal Pak Irwan.
“Oh oke Pak, Bu, Jadi begini…"
1. Menyiapkan data penghasilan bruto
Pada dasarnya penjual takjil adalah termasuk wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha. Kegiatan usahanya adalah perdagangan. Secara aturan umum, wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha haruslah melakukan pembukuan, seperti membuat laporan keuangan. Akan tetapi, Pemerintah melalui sejumlah ketentuan memberikan kemudahan bagi wajib pajak yang menjalankan kegiatan usaha dengan peredaran bruto tertentu.
Peraturan tersebut antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, khususnya klaster pajak penghasilan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh oleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Kewajiban Pelpaoran Usaha untuk Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Peredaran bruto yang dimaksud adalah sampai dengan Rp4.800.000.000. Wajib pajak dengan peredaran bruto tersebut dapat tidak melakukan pembukuan dan hanya perlu menyiapkan pencatatannya saja atas penghasilan bruto usahanya.
“Oh jadi kami hanya perlu mencatat berapa penjualan takjil kami per hari dan per bulan ya? Gak perlu hitung untung, biaya, dan lainnya?” tanya Bu Yen.
“Betul, Bu. Hanya peredaran bruto dari jualan takjil Ibu, diinventarisir ya Bu.”
“Oh, oke, Mas,” sahut Pak Irwan, “selanjutnya apa Mas?”
“Selanjutnya…
2. Menghitung Pajak
Setelah kita mengetahui berapa peredaran bruto setiap bulan, maka pastikan apakah dalam satu tahun itu peredaran brutonya (omzet) belum lewat dari Rp4,8 miliar. Bila belum lewat maka dapat lanjut menggunakan fasilitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tersebut.
Selanjutnya, dalam PMK 164/2023, terdapat batasan omzet yang tidak dikenakan pajak, yaitu sebesar Rp500 juta. Jadi sebelum akumulasi omzet Bapak-Ibu tiap bulannya belum mencapai 500 juta maka tidak perlu bayar pajak. Setelah 500 juta, maka timbullah kewajiban untuk membayar pajak terutangnya.
“Wah gimana tuh Pak, kok bingung ya.”
“Begini Pak,” Anton menjelaskan sambil menunjukkan tabel bantu yang ada di gawainya.

Jadi, sesuai tabel Bapak-Ibu perlu membayar PPh Final UMKM-nya saat akumulasi omzetnya melewati 500 juta. Nah nanti selisihnya dikalikan dengan tarif PPh Final 0,5%. Akan tetapi untuk bulan selanjutnya, setelah melebihi 500 juta tersebut, omset tidak kena pajaknya sudah tidak digunakan lagi. Sehingga peredaran bruto pada bulan tersebut otomatis menjadi dasar pengenaan pajak Bapak-Ibu.
Nah Pajak yang sudah dihitung tersebut dibuat terlebih dahulu billingnya melalui DJP Online lalu disetorkan melalui bank persepsi atau kantor pos. Paling lama dibayar tanggal 20 bulan berikutnya ya, Pak, Bu.
“Oh begitu ya. Jadi paham, Mas. Tapi kan kita cuman jualan pas bulan Ramadan doang, dan juga, yo ndak mungkinlah jualan takjil bisa sampai puluhan juta per bulan,” keluh Bu Yen.
“Iya Mas, bener itu,” timpal Pak Irwan.
“Bapak-Ibu, tidak boleh begitu, siapa tahu kita akan mendapatkan rezeki penjualannya bombastis kan. Bapak-Ibu tetap wajib melakukan pencatatan seperti di atas setiap bulannya agar peredaran bruto Bapak-Ibu tetap on track sudah sejauh apa, walaupun tidak jualan takjil sekalipun dan berganti ke penjualan lainnya. Terlepas dari ada tidaknya pajak yang terutang, Bapak-Ibu tetap memiliki kewajiban yang satu lagi nih.”
“Apa itu?” tanya Bu Yen
“Nah selanjutnya adalah…"
3. Melaporkan Pajak
Bapak-Ibu, wajib melaporkan pajak yang telah dihitung dan/atau dibayar (walaupun pajaknya Rp0), dan dilaporkan setiap tahunnya. Untuk orang pribadi yang menjual takjil seperti Bapak-Ibu, paling lambat akhir bulan Maret tahun berikutnya. Misal, Bapak-Ibu sudah mencatat dan menghitung peredaran bruto dan PPh-nya yang terjadi di tahun 2024, maka itu semua dilaporkan paling lambat Maret 2025 ya. Melaporkannya menggunakan SPT 1770 yang dapat diakses di DJP Online (https://djponline.pajak.go.id).
“Wah, berarti sebentar lagi dong,” kata Pak Irwan.
“Iya, sebentar lagi Pak. Tapi untuk yang penjulanan ini (tahun 2025), dilaporkan di tahun 2026 ya, Pak, Bu.”
“Oh, iya, ha-ha-ha, saya udah kaget tadi,” kata Pak Irwan.
“Wahh begitu ya Mas, makasih saya jadi paham.”
“Iya sama-sama Bu, jadi ini jajanan saya semuanya berapa?” tanya Anton
“Rp50 ribu Mas,” kata Bu Yen
Anton memberikan uangnya. “Terima kasih, Pak, Bu, semoga lancar usahanya.”
“Sama-sama, Mas,” sahut mereka berdua
Begitulah kisah saling berbagi yang terjadi selama Bulan Ramadan ini. Insan pajak membagi pengetahuannya kepada wajib pajak agar lebih patuh sembari berbagi rezeki dan penjual takjil yang bersedia menyediakan dagangan takjil untuk dapat disantap orang saat berbuka.
Melalui ilustrasi singkat ini, penulis berharap dapat meningkatkan kepatuhan pajak UMKM sebagai pilar perekonomian negara.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 2441 kali dilihat