Berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara atau yurisdiksi lain yang berlaku secara khusus (lex specialis) dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak. Manfaat P3B adalah fasilitas dalam P3B yang dapat berupa tarif pajak yang lebih rendah dari tarif pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh atau pengecualian dari pengenaan pajak di negara sumber.

Pemerintah Indonesia terikat P3B yang dilakukan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B. Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pertukaran informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan dengan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B sesuai dengan ketentuan P3B yang berlaku. Direktur Jenderal Pajak dapat meminta informasi kepada Wajib Pajak atau pihak lain mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan yang akan dipertukarkan.

Wajib Pajak atau pihak lain wajib memenuhi permintaan informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan. Dalam hal Wajib Pajak atau pihak lain tidak memenuhi permintaan tersebut, Wajib Pajak atau pihak lain dikenai sanksi sesuai dengan Undang-Undang. Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang selanjutnya disebut MAP dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak dan otoritas pajak negara atau yurisdiksi mitra P3B. Permintaan pelaksanaan MAP dapat diajukan oleh Wajib Pajak melalui Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak, otoritas pajak negara mitra P3B atau yurisdiksi mitra P3B dalam batas waktu pelaksanaan MAP.

Permintaan pelaksanaan MAP dapat diajukan bersamaan dengan permohonan Wajib Pajak untuk mengajukan:

  1. keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang;
  2. permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Undang-Undang; atau
  3. permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang.

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk meneliti permintaan pelaksanaan MAP untuk menentukan dapat atau tidaknya dilaksanakan MAP. Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan persetujuan Bersama setelah surat ketetapan pajak diterbitkan tetapi tidak diajukan keberatan atau tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan.

Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan tetapi tidak diajukan banding atau Wajib Pajak mengajukan banding tetapi dicabut, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan ketentuan. Apabila pelaksanaan MAP dilakukan bersamaan dengan proses banding dan sampai dengan Putusan Banding diucapkan pelaksanaan MAP belum menghasilkan Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menghentikan MAP. Dalam hal pelaksanaan MAP tidak menghasilkan Persetujuan Bersama, berlaku surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) yang selanjutnya disebut APA berlaku dan mengikat bagi:

  1. Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak; atau
  2. Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak dan otoritas pajak negara mitra P3B atau yurisdiksi mitra P3B,       

selama jangka waktu APA.

Direktur Jenderal Pajak tidak dapat melakukan koreksi atas hal-hal yang disepakati dalam APA. Dalam hal proses APA tidak menghasilkan kesepakatan antara pihak-pihak, dokumen Wajib Pajak yang dipergunakan selama proses penentuan APA harus dikembalikan sepenuhnya kepada Wajib Pajak. Dokumen Wajib Pajak tersebut tidak dapat digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pertukaran informasi, MAP, dan APA diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).