Oleh: Amardianto Arham, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Penegakan hukum di bidang perpajakan menorehkan tinta emas dalam sejarah. Baru saja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan penyidikan in absentia perpajakan pertama di Indonesia yang dilakukan oleh penyidik Kantor Wilayah DJP Jawa Timur II (berita terkait: https://pajak.go.id/id/berita/djp-lakukan-penyidikan-absentia-perpajakan-pertama-di-indonesia).  Hal ini merupakan peristiwa bersejarah dalam penegakan hukum pidana di bidang perpajakan. Ketentuan mengenai penyidikan in absentia perpajakan memang merupakan ketentuan baru yang pertama kali dituangkan dalam Pasal 44D Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) serta diatur lebih lanjut dalam Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (PP 50/2022).

Sebelum mengulas lebih lanjut apa itu penyidikan in absentia perpajakan, kita perlu mengetahui apa itu penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Definisi penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan disebutkan dalam Pasal 1 angka 31 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, sebagai berikut:

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan DJP yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam UU Hukum Acara Pidana yang berlaku.

Lalu, apa itu penyidikan in absentia perpajakan? Penyidikan in absentia perpajakan adalah proses penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh penyidik pajak tanpa adanya kehadiran tersangka. Proses penyidikan in absentia dapat dimulai dari penetapan tersangka berdasarkan dua alat bukti yang sah apabila yang bersangkutan sebagai saksi telah dipanggil dua kali secara sah dan tidak hadir tanpa memberikan alasan yang patut dan wajar. Penyidikan in absentia dilakukan terhadap tersangka yang memiliki harta kekayaan sehingga kerugian pada pendapatan negara dapat terpulihkan dari hasil penyitaan harta kekayaan milik tersangka.

Dalam proses penyidikan in absentia perpajakan, penyidik pajak wajib melakukan upaya maksimal untuk menghadirkan tersangka dalam proses penyidikan. Apabila tersangka tidak memenuhi panggilan yang dilakukan secara sah oleh penyidik sebanyak dua kali dan tidak memberikan alasan yang patut dan wajar, maka penyidik pajak wajib mengumumkan pemanggilan tersebut pada media berskala nasional dan/atau internasional, mengusulkan tersangka masuk dalam daftar pencarian orang, dan meminta bantuan kepada pihak berwenang untuk dicatat dalam red notice.

Proses Penyidikan

Setelah hasil penyidikan dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut umum (P-21) dan telah dilakukan segala upaya maksimal tersebut di atas, penyidik pajak menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada jaksa penuntut umum (P-22) tanpa adanya kehadiran tersangka.

Penyidikan in absentia perpajakan merupakan salah satu upaya penegakan hukum pajak yang dilakukan oleh DJP. Secara garis besar, ada dua jenis penegakan hukum pajak yang dilakukan oleh DJP yaitu, penegakan hukum administratif dan penegakan hukum pidana. Penegakan hukum administratif adalah proses penegakan hukum pajak yang dilakukan oleh DJP melalui Account Representative (AR) dan pemeriksa pajak. Sebagai bentuk imbauan kepada wajib pajak agar patuh melaksanakan kewajiban perpajakannya, AR menyampaikan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) kepada wajib pajak. Sedangkan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, pemeriksa pajak melakukan pemeriksaan kepada wajib pajak.

Apabila dalam kedua proses penegakan hukum administratif tersebut di atas ditemukan indikasi tindak pidana, ia akan diproses melalui penegakan hukum pidana. Penegakan hukum pidana pajak dapat diawali dari adanya informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP) terkait tindak pidana di bidang perpajakan.

Berdasarkan hasil pengembangan dan analisis terhadap IDLP melalui kegiatan intelijen dan/atau kegiatan lain, DJP berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Bukti permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Ultimum Remidium: Langkah Terakhir

Dalam proses pemeriksaan bukti permulaan, DJP memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk menghindari pemidanaan sebagaimana asas ultimum remidium yang dianut dalam penegakan hukum pidana pajak yaitu mengedepankan penyelesaian administratif demi pemulihan kerugian pada pendapatan negara. Pada tahap pemeriksaan bukti permulaan, berdasarkan Pasal 8 ayat (3) UU KUP, wajib pajak dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya disertai pelunasan jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administratif.

Apabila hal tersebut tidak dilakukan oleh wajib pajak, proses penegakan hukum pidana pajak dapat dilanjutkan ke tahap penyidikan. Dalam proses penyidikan, DJP juga masih memberikan kesempatan untuk menghindari pemidanaan. Berdasarkan Pasal 44B UU KUP, wajib pajak atau tersangka dapat mengajukan permintaan penghentian penyidikan dengan melunasi kerugian pada pendapatan negara dan sanksi adminstratif.

Apabila hal tersebut juga tidak dilakukan oleh wajib pajak atau tersangka, proses penyidikan terus dilanjutkan sampai berstatus P-21 dan P-22. Pada saat proses penuntutan dan persidangan, “pintu maaf” masih terbuka bagi terdakwa untuk menghentikan pemidanaan dengan cara melunasi kerugian pada pendapatan negara beserta sanksi adminstratif. Apabila hal tersebut tidak dimanfaatkan oleh terdakwa, maka penuntutan dan persidangan terus dilanjutkan sampai dengan dijatuhkannya vonis oleh hakim di pengadilan.

Pada hakikatnya, penegakan hukum pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh DJP tidak hanya bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan efek gentar bagi wajib pajak lainnya, tetapi juga untuk memulihkan kerugian pada pendapatan negara. Sebagaimana tugas utama DJP, yaitu mengamankan penerimaan negara yang berasal dari pajak.

Sebagai warga negara yang baik, sudah sepatutnyalah kita melaksanakan kewajiban perpajakan dengan baik. Mengingat pentingnya peran pajak sebagai penopang perekonomian negeri ini, setiap rupiah pajak yang kita bayarkan ke negara berkontribusi untuk keberlangsungan pembangunan Indonesia kini hingga nanti karena #PajakKitaUntukKita.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.