oleh Ariesto Narindro, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Peran Penghitungan Kerugian pada Pendapatan Negara dalam Penanganan Perkara Pidana di Bidang Perpajakan

Penjelasan Pasal 44B ayat (2a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menyatakan bahwa penanganan perkara pidana di bidang perpajakan lebih mengedepankan pemulihan kerugian pada pendapatan negara daripada pemidanaan. Hal ini selaras dengan asas ultimum remedium yang menjiwai penyusunan UU KUP.

Asas ultimum remedium secara sederhana dapat diartikan bahwa dalam penanganan perkara pidana pajak terdapat pilihan lain (way out) untuk menghindari pemidanaan dengan cara mengajukan permohonan dan membayar kerugian pada pendapatan negara (KpPN) beserta sanksi administratifnya. Pilihan menghindari pemidanaan ini dapat dilakukan dalam setiap tahap penanganan perkara pidana, mulai dari tahap pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, sampai pada tahap penuntutan di pengadilan.

Pilihan menghindari pemidanaan pada tahap pemeriksaan bukti permulaan dapat dilakukan dengan cara pengungkapanan ketidakbenaran perbuatan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU KUP, selanjutnya pada tahap penyidikan dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan penghentian penyidikan sesuai Pasal 44B ayat (1). Sedangkan pada tahap penuntutan di pengadilan, tersangka tetap dapat menghindari pemidanaan dengan membayar KpPN sesuai Pasal 44B ayat (2a).

Keutamaan pemulihan KpPN juga ditunjukan dalam Pasal 44C UU KUP. Pada ayat (1) pasal tersebut dinyatakan bahwa pidana denda (yang merupakan hasil penghitungan KpPN) tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana. Lebih lanjut, pada ayat (2) diatur bahwa dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jaksa melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta kekayaan terpidana untuk membayar pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini menunjukan begitu pentingnya pemulihan KpPN sehingga tidak dapat digantikan pidana kurungan dan negara melalui jaksa eksekutor berwenang untuk menyita dan melelang harta kekayaan terpidana untuk membayar denda sebagai upaya untuk memulihkan KpPN.

Selain untuk tujuan pemulihan, penghitungan KpPN juga berperan penting dalam proses penanganan perkara pidana. Pentingnya penghitungan KpPN didorong fakta bahwa KpPN menjadi salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait penanganan tindak pidana perpajakan (tipijak). Pertama, hasil penghitungan mengenai ada tidaknya KpPN menjadi pertimbangan dalam menentukan apakah suatu ketidakpatuhan perpajakan (perbuatan) termasuk kategori tipijak. Dalam penelaahan perkara, wajib diuji apakah perbuatan tersebut memenuhi rumusan pasal pidana. Sebagai contoh, untuk menguji apakah perbuatan menyampaikan SPT tidak benar termasuk tipijak, perlu disimpulkan apakah perbuatan tersebut menimbulkan KpPN. Jika perbuatan menyampaikan SPT tidak benar tersebut tidak menimbulkan KpPN, maka perbuatan tersebut bukanlah suatu tipijak.

Kedua, penghitungan KpPN diperlukan untuk menguji apakah pembayaran pengungkapan ketidakbenaran perbuatan berdasarkan Pasal 8 ayat (3) UU KUP telah sesuai dengan penghitungan KpPN. Jika pembayaran tersebut telah sesuai atau lebih besar dari penghitungan KpPN maka pemeriksaan bukti permulaan dihentikan. (Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022).

Ketiga, penghitungan KpPN diperlukan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 44B UU KUP, yaitu untuk menguji apakah pembayaran dalam rangka penghentian penyidikan telah sesuai dengan jumlah penghitungan KpPN. Dalam hal pembayaran KpPN telah sesuai ketentuan maka penyidikan dapat dihentikan sesuai Pasal 44B UU KUP (Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022). Keempat, penghitungan KpPN juga menjadi dasar penyusunan surat dakwaan dan tuntutan jaksa dalam tahap penuntutan di persidangan. Pada tahap ini, besaran pidana denda ditentukan dari hasil penghitungan KpPN.

Dengan demikian, KpPN perlu dihitung secara cermat dan seksama guna meningkatkan kepastian, kebermanfaatan, dan keadilan baik bagi kepentingan pelaku maupun korban (negara) karena:

(1) penanganan perkara pidana di bidang perpajakan lebih mengedepankan pemulihan KpPN daripada pemidanaan;

(2) hasil penghitungan KpPN menjadi pertimbangan dalam setiap tahap penanganan perkara mulai tahap pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, sampai dengan penuntutan;

(3) pidana denda yang dihitung berdasarkan KpPN tidak dapat diganti pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana dan jika tidak dibayar maka dilakukan penyitaan dan pelelangan harta terpidana; dan

(4) penghitungan KpPN memengaruhi besaran pidana denda yg dijatuhkan kepada tersangka.

 

Substansi dan Esensi Kerugian pada Pendapatan Negara

Untuk meningkatkan kepastian, kebermanfaatan, keadilan, dan selanjutnya dapat menghitung KpPN secara cermat, seksama, dan dapat memulihkan hak negara, perlu terlebih dahulu memahami mengenai substansi dan esensi KpPN. Kajian ontologi, yaitu cabang filsafat yang membahas prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada, dapat membantu menguraikan substansi dan esensi dari KpPN.

Secara sederhana, esensi adalah hakekat terdalam dari sesuatu, sedangkan substansi adalah unsur-unsur yang membentuk esensi. Sebagai contoh, esensi dari sebuah bolpoin adalah alat untuk menulis, sedangkan substansi dari sebuah bolpoin adalah bahan atau materi pembentuknya, yang dapat berupa plastik atau besi beserta tintanya. Esensi sebuah gelas kaca adalah wadah menaruh cairan untuk diminum, sedangkan substansinya adalah bahan pembentuknya, yaitu kaca. Pun gelas kaca dapat difungsikan sebagai pot untuk menaruh bunga hias, namun fungsi itu bukanlah esensi dari sebuah gelas kaca.

Bolpoin dalam contoh di atas dapat memiliki substansi yang berbeda-beda, tergantung unsur pembentuknya. Bolpoin yang dibuat dari plastik mempunyai substansi plastik dan cairan tinta di dalamnya, sedangkan bolpoin yang dibuat dari besi mempunyai substansi besi dan cairan tinta di dalammnya. Demikian juga substansi KpPN dapat berbeda-beda sesuai dengan unsur pembentuk yang telah ditentukan dalam setiap pasalnya.

  1. Substansi KpPN menurut Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) UU KUP

Ketentuan pidana Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) mengatur … dipidana denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Berdasarkan rumusan pasal tersebut, ditentukan bahwa substansi KpPN untuk perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) adalah jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Selanjutnya, dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017, menyatakan bahwa kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangan hukumnya, disebutkan bahwa unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss). Selain itu, Mahkamah juga berpendapat bahwa pencantuman kata ‘dapat’ menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah secara nyata bertentangan dengan jaminan bahwa bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Lebih lanjut, kata ‘dapat’ juga bertentangan dengan prinsip perumusan ketentuan hukum, yaitu harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta) dan tidak multitafsir (lex certa), oleh karenanya bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Merujuk amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, substansi KpPN Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) UU KUP haruslah juga benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss).

  1. Substansi KpPN menurut Pasal 39 ayat (3) UU KUP

Ketentuan pidana Pasal 39 ayat (3) mengatur terkait perbuatan percobaan berupa (1) menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau pengukuhan PKP (Pasal 39 ayat (1b)); dan (2) menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap (Pasal 39 ayat (1d)), dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak.

Dalam rumusan Pasal 39 ayat (3) diatur … denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan. Berdasarkan rumusan pasal tersebut, ditentukan bahwa substansi KpPN atas perbuatan dimaksud adalah jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

Berdasarkan rumusannya, Pasal 39 ayat (3) merupakan delik percobaan. Menurut UU Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP Baru), percobaan melakukan tindak pidana terjadi jika niat pelaku telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai, tidak mencapai hasil, atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena semata-mata atas kehendaknya sendiri. Dengan demikian, pasal 39 ayat (3) merupakan delik formil dengan konsekuensi logis bahwa ada atau tidaknya akibat berupa timbulnya KpPN tidaklah menentukan terpenuhimya suatu perbuatan pidana.

Memperhatikan uraian tersebut di atas serta merujuk frasa ‘dimohonkan’ dan ‘dilakukan’ tersebut, besaran KpPN Pasal 39 ayat (3) didasarkan pada jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dari hasil penghitungan yang dituangkan oleh Wajib Pajak dalam SPT Tahunan atau SPT Masa.

  1. Substansi KpPN menurut Pasal 39A UU KUP

Pasal 39A merupakan delik formil yang tidak mensyaratkan timbulnya unsur akibat atau dengan kata lain dengan telah terjadi perbuatan yang dimaksud dalam pasal 39A, tanpa adanya akibat, maka perbuatan pidana tersebut sudah nyata terjadi (voltooid). Meskipun demikian, dalam Pasal 39A perlu dihitung juga KpPN-nya sebagai dasar pengenaan sanksi pidana denda.

Dalam rumusan Pasal 39A diatur … denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak. Berdasarkan rumusan pasal tersebut, ditentukan bahwa substansi KpPN atas perbuatan dimaksud adalah jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak (bukti pungut/potong/setor pajak).

  1. Substansi Kerugian Negara menurut Pasal 24 dan Pasal 25 UU PBB

Undang-Undanga PBB tidak menggunakan istilah kerugian pada pendapatan negara, tetapi menggunakan istilah kerugian negara.

Ketentuan pidana Pasal 24 dan Pasal 25 UU PBB mengatur … dipidana dengan pidana … denda setinggi-tingginya sebesar … kali pajak yang terutang. Berdasarkan rumusan pasal tersebut, ditentukan bahwa substansi KpPN untuk perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25 UU PBB adalah jumlah pajak yang terutang.

  1. Esensi Kerugian pada Pendapatan Negara

Dengan mencermati rumusan pasal-pasal yang mengandung ketentuan terkait kerugian pada pendapatan negara sebagaimana diuraikan di atas, dapat dirumuskan mengenai esensi dari kerugian pada pendapatan negara. Penjelasan Pasal 36A menyebutkan bahwa menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai dengan undang-undang mengakibatkan terjadinya kerugian pada pendapatan negara.

Pasal 38, Pasal 39 ayat (1) dan (3), Pasal 39A, Pasal 44B, dan Pasal 44C sebagaimana telah diuraikan di atas mengatur bahwa kerugian pada pendapatan negara merupakan jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan, dan/atau jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Berdasarkan hal tersebut, dapat disarikan bahwa esensi kerugian pada pendapatan negara adalah suatu jumlah kekurangan penerimaan negara dari pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan/atau suatu jumlah yang wajib disetor ke kas negara akibat penyalahgunaan sarana administrasi perpajakan, yang terjadi dalam tindak pidana di bidang perpajakan.

Kekurangan hak negara tersebut dapat berasal dari berbagai jenis pajak yang diadministrasikan oleh pemerintah pusat, yang meliputi pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan P5L, bea meterai, dan pajak karbon. Dengan demikian, terhadap perbuatan pidana yang menyangkut jenis pajak yang berbeda, maka penghitungan kerugian pada pendapatan negara haruslah meliputi masing-masing jenis pajak dimaksud.

  1. Matriks Substansi dan Esensi KpPN

                           Pasal

             Substansi KpPN

                                                          Esensi KpPN

Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) UU KUP

jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar

suatu jumlah kekurangan penerimaan negara dari pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan/atau suatu jumlah yang wajib disetor ke kas negara akibat penyalahgunaan sarana administrasi perpajakan, yang terjadi dalam tindak pidana di bidang perpajakan

Pasal 39 ayat (3)

UU KUP

jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan

Pasal 39A

UU KUP

jumlah pajak dalam bukti potong/ pungut/ setor

Pasal 24 dan Pasal 25

UU PBB

jumlah pajak yang terutang

  1. Penghitungan Kerugian pada Pendapatan Negara

Penanganan perkara pidana di bidang perpajakan seringkali menemui beberapa perbuatan pidana yang dilakukan oleh satu wajib pajak, misalnya, wajib pajak A dalam suatu periode masa dan tahun pajak tertentu melakukan beberapa perbuatan pidana yaitu: (1) menerbitkan dan menggunakan FP TBTS (PPN); (2) memungut/memotong pajak tetapi tidak disetorkan (PPh dan/atau PPN); (3) menyampaikan SPT Masa PPh 23 yang tidak benar; (4) menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan yang tidak benar (PPh); (5) menyampaikan SPT Masa PPN yang tidak benar (PPN); (6) menyampaikan SPOP yang isinya tidak benar (PBB); dan (7) pada awal tahun menyampaikan SPT Masa PPN yang tidak benar dalam rangka mengajukan permohonan restitusi (PPN). Bagaimana penghitungan KpPN atas gabungan tindak pidana tersebut?

Untuk menghitung besaran kerugian pada pendapatan negara perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Esensi kerugian pada pendapatan negara adalah suatu jumlah kekurangan penerimaan negara dari pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan/atau suatu jumlah yang wajib disetor ke kas negara akibat penyalahgunaan sarana administrasi perpajakan yang terjadi dalam tindak pidana di bidang perpajakan. Secara perhitungan, suatu jumlah dimaksud timbul dari suatu jenis pajak dan/atau dari suatu penyalahgunaan sarana administrasi perpajakan dalam suatu periode tertentu. Dengan demikian, besaran KpPN tidak kurang dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar; jumlah pajak dari bukti pungut/potong/setor pajak, yang seharusnya sudah dibayarkan ke kas negara; dan/atau jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
  2. Penghitungan KpPN hanya dilakukan terhadap wajib pajak, pelaku, dan/atau pihak lain atas perbuatan tipijak yang dilakukan penanganan perkara pidana. Kekurangan penerimaan negara yang timbul selain dari perbuatan yang dilakukan penangan pidana tidak termasuk lingkup penghitungan KpPN, tetapi merupakan kekurangan penerimaan negara yang dapat diselesaikan secara administrasi oleh wajib pajak atau fiskus.
  3. Penghitungan KpPN dilakukan berdasarkan perbuatan pidana, jenis pajak, masa/tahun pajak, dan jenis deliknya. Dengan demikian, penghitungan KpPN harus dipisahkan per perbuatan, per jenis pajak, per masa/tahun pajak, termasuk per jenis deliknya. Dalam contoh di atas, dapat diurakan bahwa: (1) terdapat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) perbuatan yang masing-masing dapat berdiri sendiri atau merupakan perbuatan berlanjut yang dipandang sebagai satu perbuatan; (2) terdapat terdapat 3 (tiga) jenis pajak; (3) terdapat beberapa masa dan tahun pajak; dan (4) terdapat 2 (dua) jenis delik, yaitu delik materiil dan delik formil.
  4. Beberapa perbuatan pidana dapat menimbulkan satu KpPN dari satu jenis pajak. Hal ini dapat terjadi dalam contoh kasus sebagai berikut. Wajib Pajak C dalam periode masa pajak Januari 2020 melakukan perbuatan pidana yaitu: (1) tidak menyetorkan seluruh pajak (PPN) yang telah dipungut; dan (2) menyampaikan SPT Masa PPN yang isinya tidak benar. Dua perbuatan ini dapat dipandang sebagai perbuatan berlanjut sesuai Pasal 64 KUHP dengan pembebanan pidana absorsi murni, yang artinya dari dua perbuatan tersebut, hanya dibebankan satu KpPN.
  5. Beberapa perbuatan pidana dapat menimbulkan beberapa KpPN dari satu jenis pajak. Hal ini dapat terjadi dalam contoh kasus sebagai berikut. Wajib Pajak D dalam periode masa pajak Juli 2021 melakukan perbuatan pidana yaitu: (1) menerbitkan dan menggunakan FP TBTS; (2) menyampaikan SPT Masa PPN yang tidak benar dengan cara mencantumkan PPN dibayar dimuka yang sebenarnya belum dibayarkan. Dalam kasus ini, terdapat 2 (dua) KpPN, yang pertama KpPN dari jumlah PPN dalam FP yang diterbitkan ditambah jumlah PPN dalam FP yang digunakan (Pasal 39A), yang kedua KpPN dari PPN dibayar dimuka yang sebenarnya belum dibayarkan. Dua perbuatan ini dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, kedua perbuatan tersebut memenuhi beberapa pasal pidana, yaitu pasal 39A dan pasal 39 ayat (1d). Baik perbuatan pertama maupun perbuatan kedua sama-sama menimbulkan KpPN, sehingga terdapat dua penghitungan KpPN.
  6. Perbuatan pidana menerbitkan dan menggunakan FP TBTS menimbulkan 2 (dua) KpPN, yaitu KpPN dari jumlah PPN dalam FP TBTS yang diterbitkan dan jumlah PPN dalam FP TBTS yang digunakan. Apabila PPN yang dipungut atas penerbitan FP TBTS tersebut tidak disetorkan ke kas negara, maka menimbulkan 1 (satu) KpPN lagi, yaitu sebesar jumlah PPN yang telah dipungut tetapi tidak disetorkan ke kas negara. Contoh ini merupakan penghitungan KpPN dari gabungan perbuatan delik formil dan perbuatan delik materiil.
  7. Perbuatan pidana menggunakan FP TBTS (Pasal 39A) dan perbuatan menyampaikan SPT PPN yang isinya tidak benar (Pasal 39 (1d)) yang terjadi dalam masa pajak yang sama dipandang sebagai perbuatan berlanjut. Pasal 64 KUHP juga mengatur bahwa jika dua perbuatan masuk dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus, maka sanksi pidana yang dijatuhkan adalah sanksi pidana yang diatur dalam aturan pidana khusus. Perbuatan menggunakan secara ketentuan umum masuk delik menyampaikan SPT PPN tidak benar (Pasal 39 (1d)) karena untuk dapat menggunakan haruslah dengan menyampaikan SPT Masa PPN. Perbuatan menggunakan secara ketentuan khusus masuk dalam delik menggunakan FP TBTS (Pasal 39A). Berdasarkan Pasal 64 KUHP, maka KpPN dalam perkara ini dihitung dari jumlah PPN dalam FP TBTS yang dikreditkan, bukan dari penghitungan PK dikurangi PM.

 

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.