Pajak dalam Secangkir Kopi? Benarkah?
Oleh: Fatikha Faradina, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Matahari baru saja menyembul dari balik Gunung Tangkuban Perahu, menyirami kota Bandung dengan cahaya keemasannya. Kabut tipis masih menggantung di udara, menciptakan nuansa magis di antara pepohonan yang menghijau. Suara kicauan burung berpadu dengan gemericik air dari Sungai Cikapundung, mengiringi ritme alam yang perlahan terbangun. Di sudut-sudut kota, warung-warung kopi mulai membuka pintu mereka. Aroma serbuk hitam bercampur air hangat yang kuat dan wangi khas roti bakar meresap ke dalam udara pagi yang sejuk, mengundang penduduk lokal dan wisatawan untuk menikmati sarapan. Pasar-pasar tradisional mulai ramai oleh aktivitas. Pedagang menata dagangan mereka, menawarkan sayuran segar, buah-buahan, dan berbagai jenis makanan khas.
“Akhirnya hari Sabtu yang ku tunggu tiba juga,” ucap Jatmiko sambil menggeliat di kursi pelataran rumahnya.
Akhir pekan adalah waktu berharga bagi kaum proletar yang banting tulang dari pagi hingga petang seperti dirinya. Hari-hari berjibaku dengan kemacetan yang sesak dari Senin ke Jumat, tak jarang melihat matahari adalah hal yang mewah untuk dirasakan karena ia harus berangkat pukul 06.00 dan pulang selepas magrib untuk menghindari kemacetan Bandung, di kawasan perumahan yang memprihatinkan. Ah, mungkin Bandung hanya diciptakan indah di puisi-puisi Pidi Baiq saja.
Seakan menjiwai lakonnya sebagai pekerja kerah biru, Jatmiko punya lagu favorit yang selalu ia putar, sejenak usai bangun tidur: "Statis" dari Plastik Band.
"Terbangun di pagi ini, jalani hari seperti kemarin ... Tak pernah ada yang menyenangkan," keluh Ipang Lazuardi si vokalis.
Romansa tentang Bandung yang dijual di media membuat Paris van Java ini penuh sesak di hari Sabtu dan Minggu. Mobil-mobil dari Jakarta melesak masuk memadati jalanan Bandung yang sempit. Orang-orang berhimpit memadati kedai kopi, menyusuri jalanan Lembang yang menanjak bak jurang itu. Entah, Bandung selalu menjadi magnet penuh magis bagi pemujanya.
Nyatanya pesona itu tak berlaku untuk Jatmiko. Lima tahun sudah menjadi anak rantau di kota ini membuatnya tersadar dari kisah roman picisan tentang Bandung. Bertahun-tahun bergeliat menjadi bagian dari warga asli yang ikut bertarung dengan banjir, macet, gempa dan harga kopi yang dijajakan di kedai yang terkadang tak masuk akal, membuatnya hanya ingin berguling-guling di lautan kapuk rumahnya setiap weekend.
Hanya hal-hal besar saja yang bisa memaksa Jatmiko bergerak untuk melebur dengan hiruk-pikuk Bandung di hari Sabtu itu: telepon Ibunya tempo hari.
“Le, besok Pakdhe Bratha mau ke Bandung. Nanti temani keliling-keliling,” pesan Ibu dari ujung telepon.
“Aduh, Bu. Apa ndak ada saudara lain yang bisa ngantar? Miko kan sudah lama nggak ketemu Pakdhe Bratha, susah ngobrolnya,” keluh Jatmiko yang langsung ditukas Ibunya dengan pedas.
“Lho justru itu, Le. Kamu ini kelamaan merantau jadi orang kurang tepa slira sama keluarga sendiri. Mbiyen cilikan-mu yang mengurus kan Pakdhe. Ngono ya ngono ning aja ngono to, Le!”
Kamu ini kelamaan merantau jadi orang kurang bisa menenggang rasa sama keluarga sendiri. Dulu waktu kamu kecil yang mengurus Pakdhe. Begitu ya begitu, tapi jangan begitu juga to, Nak.
Akhirnya dengan hati yang berat, di hari Sabtu itu,ia duduk di kedai kopi ternama bersama Pakdhe Bratha. Semua berjalan tenang dan wajar hingga tiba saat membayar tagihan kopi, tiba-tiba Pakdhe Bratha berceletuk.
“Wah, bahkan kopi segelas aja sekarang udah dipajaki PPN mahal di sini ya, Mik! Masa perkara makan minum juga dipajaki begini ya.” PPN yang dimaksud adalah pajak pertambahan nilai, atau pajak atas konsumsi barang/jasa. PPN merupakan salah satu jenis pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat, dalam hal ini oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Sontak Jatmiko mengernyitkan dahi, “Ah, mana ada, Pakdhe. Coba Miko lihat struk tagihannya.”
Manik matanya menilisik kertas tagihan itu hingga akhirnya ia tersenyum simpul, “Oh, pajak yang 10% ini ya, Pakdhe?” tunjuknya.
Pakdhe Bratha mengangguk. “Iya, Mik. Kok mahal tenan minum kopi di sini aja kena PPN.”
“Pakdhe, ini bukan PPN melainkan PB1 atau disebut Pajak Restoran. Miko izin jelasin sambil kita jalan kaki ke Braga nggih, Pakdhe.”
Pakdhe Bratha mengangguk sambil berjalan mengikuti ajakan Miko menyusuri trotoar.
Pajak Bangunan 1 atau PB1 adalah pajak restoran yang dikenakan kepada pelanggan atas pelayanannya. Biasanya, pajak tersebut dicantumkan di struk yang diberikan setelah pelanggan selesai melakukan transaksi. PB1 atau pajak restoran kini masuk ke dalam kategori Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Pihak restoran memungut PB1 dari pelanggan atas pelayanan yang diberikan. Restoran dan tempat makan publik lainnya dianggap sebagai fasilitas penyedia makanan dan minuman. Atas fasilitas yang dinikmati, konsumen dikenai PB1 yang dipungut oleh restoran, warung, kafe, dan sebagainya, untuk selanjutnya disetor ke kas daerah.
“Oalah, jadi yang dikenai pajak itu layanan restorannya ya bukan minumannya,” simpul Pakdhe Bratha sembil manggut-manggut yakin.
“Iya, Pakdhe. Lumrah orang-orang sering mengira PPN dan Pajak Restoran sama karena tarifnya sama-sama 10%.”
Ternyata berjalan-jalan dengan Pakdhe Bratha yang sudah memasuki usia setengah baya ini tidak seburuk yang dibayangkan Jatmiko. Mereka saling bertukar cerita dan berkelakar di sepanjang jalan. Apalagi, Pakdhe Bratha jadi mafhum apa beda PPN dari PB1. Dan sebaliknya, Miko dapat kopi traktiran. Lumayan lah buat kelas pekerja seperti dia.
"Lain kali, traktir lagi ya, Pakdhe. He-he-he," ujarnya cengengesan disambut rangkulan akrab pamannya.
"Miko, Miko ... apa sih yang enggak buat keponakan Pakdhe?" sahut Pakdhe Bratha, teringat masa lalu ketika ia ngemong Miko yang masih bocil.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 386 kali dilihat