Nurani Kami untuk Negara
Kam, 21 Sep 2017
Oleh: Mochammad Bayu Tjahyono
Sebelum suatu keputusan yang harus kita ambil, sering kita dengar suara-suara yang menunjukkan dan mengarahkan kita kepada suatu pilihan. Sejak awal kita bangun di pagi hari, kemanapun kita pergi dan apapun yang kita kerjakan suara tersebut selalu menemani kita. Tak ada seorang pun yang dapat mendengarkannya akan tetapi suara tersebut berbicara kepada kita tentang keadilan, nilai moral, kerendahan hati, kejujuran, ketulusan, dan kebaikan... itulah hati nurani.
Karena nurani sering menyuarakan kebaikan maka disebut inspirasi Allah, akan tetapi manusia yang lemah dan termakan keinginan yang rendah mereka cenderung melawan nurani tersebut. Mereka lebih suka menggunakan penghasilan yang tidak halal, melanggar hukum, bekerja dengan seenak sendiri, melanggar aturan-aturan daripada mendapat ridha Allah akan yang dikerjakan. Mereka yang tidak mengikuti nurani selalu mencari pembenaran akan apa yang dilakukan, dalam hatinya mereka tahu bahwa yang dilakukan adalah sesuatu yang tidak baik. Sebagai contoh, seseorang dengan menggunakan hati nurani akan menolong korban kecelakaan, namun orang yang tidak menggunakan nurani cenderung menghindar dengan berbagai alasan, salah satunya takut repot atau diminta membawa ke rumah sakit.
Direktorat Jenderal Pajak organisasi yang ditugaskan mengumpulkan penerimaan guna pembangunan beberapa kali ditimpa badai karena masih ada pegawai yang tidak mengikuti hati nurani dalam mencapai tujuannya, mulai dari badai G sampai badai N. Beberapa pegawai yang tidak kuat menghadapi badai mulai saling menyalahkan satu sama lain, namun penguatan mental yang dilakukan pimpinan dan kenyakinan pimpinan bahwa masih banyak pegawai yang menggunakan nuraninya dengan baik membuat Institusi Ditjen Pajak tetap tegak.
Lebih dari 30.000 pegawai pajak yang masih memiliki nurani yang baik, dari Sabang sampai Merauke mereka bekerja mengikuti nurani yang baik meski harus terpisah dari keluarga. Meski banyak cap negatif yang dialamatkan pada mereka, kadang dalam hati mereka juga bertanya apakah yang memberi cap negatif ke kami juga menggunakan hati nurani dalam memberi cap? Apakah mereka juga mempertimbangkan perasaan 30.000 pegawai dan keluarganya? Dengan senyum di bibir dan hati 30.000 pegawai tersebut tetap bekerja dengan tujuan mengamankan penerimaan negara, Alhamdulillah tujuan tersebut tercapai meski tidak 100%, paling tidak pembangunan tetap terlaksana.
Sebagai bukti bahwa 30.000 lebih pegawai pajak masih menggunakan nurani dengan benar atau baik, tahun 2016 penghasilan pegawai pajak mengalami penurunan 20% sebagai konsekuensi tidak tercapainya penerimaan. Di tahun itu juga bergulir program amnesti pajak, di mana Direktorat Jenderal Pajak harus membuka layanan ekstra dan memberikan waktu lebih dalam bekerja, bahkan di hari libur sebagian pegawai harus tetap bekerja. Tanggal 30 September 2016 dan 31 Desember 2016 di saat semua rakyat merayakan pergantian tahun pegawai pajak tetap harus bekerja sampai jam 2 pagi, demi menyukseskan program amnesti pajak tanpa mengharap imbalan.
Sejatinya sebagian besar pegawai pajak sudah memberikan yang terbaik buat negara bahkan memberikan nurani yang baik pada negara. Mereka tidak pernah melakukan demo, tidak pernah menolak melakukan tugas, bahkan mereka mengorbankan waktu untuk keluarga demi bangsa dan negaranya selayaknya pahlawan. Seperti halnya guru, mereka bekerja di seluruh pelosok negeri dari Sabang sampai Merauke untuk mengumpulkan penerimaan negara guna pemerataan pembangunan. Gelar pahlawan tanpa tanda jasa layak disematkan dalam diri mereka.
Dengan semua yang telah dilakukan oleh mereka masihkah kita akan menghujat mereka karena beberapa orang yang bekerja tidak dengan nurani? Masih banyak bahkan sangat banyak pegawai pajak yang masih bekerja menggunakan nurani. Melihat perjuangan mereka dalam mengamankan penerimaan negara dari pajak sudah sepantasnya seluruh rakyat Indonesia angkat topi akan perjuangan mereka dan terus memberi semangat dan mendukung mereka dalam bekerja, Pajak Jaya Indonesia Makmur, Cintailah Pajak dengan Membayar Pajak.
Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan merupakan pendapat resmi organisasi tempat penulis bekerja.
- 30 kali dilihat