Oleh: Thomas Junior Sibarani, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2024, target penerimaan pajak tahun 2024 mencapai 86.10% dari target pendapatan negara atau sebesar Rp1.988.9 triliun. Hal ini membuat APBN sangat bergantung pada sektor perpajakan. Kondisi ini belum lagi dikaitkan dengan tax ratio yang pada tahun 2024 ditargetkan sebesar 10,12%. Meskipun target tax ratio tahun 2024 mengalami penurunan dibandingkan dengan realisasi tahun 2023 yang sebesar 10,21%, target penerimaan pajak mengalami kenaikan sebesar 9,4%.

Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, pada tahun 2022, tax ratio Indonesia (10,38%) lebih tinggi dari Laos (9,46%), Myanmar (5,78%), dan Brunei Darussalam (1,30%). Namun tax ratio Indonesia jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan Singapura (12,96%), Thailand (17,18%), dan Vietnam (16,21%). Dengan target penerimaan pajak yang sebegitu besar, tentu dibutuhkan usaha yang besar pula untuk mencapai target tersebut.

Namun, arah kebijakan dan strategi untuk mencapai target tersebut kerap bersinggungan dengan masyarakat pembayar pajak. Pasalnya, pajak dianggap sebagai beban yang harus ditanggung rakyat untuk membiayai penyelenggaraan negara. Anggapan pajak sebagai beban tersebut membuat masyarakat sulit untuk membayar pajak secara sukarela.

Mengutip pendapat Frank Chodorov dalam The Income Tax: Root of Evil (1954: 21), “… the income tax is not only a tax; it is an instrument that has the potentiality of destroying a society of humansThe income tax therefore hurts the wage earner to a far greater extent than by what is filched from his pay envelope”. Menurutnya, pajak yang dalam hal ini pajak penghasilan diakui sebagai instrumen yang dapat merusak tatanan kehidupan manusia karena merugikan penerima penghasilan.

Padahal, pajak merupakan bahan bakar peradaban. Tidak ada peradaban yang tidak memungut pajak. Sumer, yang terletak antara Sungai Eufrat dan Tigris, merupakan peradaban pertama yang dikenal memungut pajak sekitar 6.000 tahun lalu (Charles Adams, 2001: 1). Dalam hal ini, pajak memungkinkan pemerintah memperoleh dana untuk membiayai pembangunan guna menggerakkan roda perekonomian.

Pemungutan pajak pun diberlakukan berdasarkan undang-undang. Selain itu, pemungutan pajak juga dilakukan sejalan dengan asas pemungutan pajak menurut teori The Four Maxims Adam Smith (1776) dalam The Wealth of Nations: Book 5 Part 2 Of Taxes. Asas-asas tersebut meliputi asas equality, certainty, convenience, dan economy. Di samping itu, terdapat juga berbagai teori pemungutan pajak seperti teori asuransi, teori bakti, teori kepentingan, teori daya beli, dan teori gaya pikul yang menjustifikasi praktik pemungutan pajak.

Kendati demikian, terdapat tidak sedikit perilaku masyarakat yang dilakukan untuk melakukan penghindaran pajak dengan berbagai cara, salah satunya dengan menggunakan media sosial. Belakangan ini, fenomena perlawanan tehadap pajak melalui media sosial kerap ditemui. Media sosial kini menjadi faktor penting yang berperan sebagai media perlawanan, media advokasi, ataupun media komunitas masyarakat saat ini.

Media Sosial dan Perkembangannya

Media sosial tumbuh dengan mengalami berbagai resolusi seiring perkembangan internet. Media sosial saat ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat kontemporer. Penemuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi  pada tahun 1993 ditandai dengan munculnya world wide web. Tahun 1995 menjadi tonggak awal munculnya halaman-halaman situs yang ditandai dengan diluncurkannya layanan web-hosting oleh GeoCities dengan tujuan agar situs tersebut dapat diakses kapan pun dan di mana pun. Di samping itu, pada tahun 1995, juga bermunculan situs jejaring sosial antara lain classmates.com dan sixdegree.com sebagai pionir media sosial yang disusul dengan Google pada tahun 1998. 

Media sosial merupakan media dengan fokus pada eksistensi pengguna, baik dalam aktivitas personal maupun kolaborasi. Fungsi dan layanan yang disediakan pada situs-situs media sosial merupakan unsur yang paling mendasar. Awal mula kemunculan situs-situs media sosial itu dilatarbelakangi oleh adanya inisiatif agar individu dengan berbagai latar belakang dapat saling terhubung. 

Media Sosial sebagai Media Perlawanan Pajak

Saat ini, media sosial menjadi faktor penting sebagai media perlawanan, media advokasi, media kontrol, ataupun media komunitas masyarakat. Mempertimbangkan fungsi dan pengaruh media sosial yang tidak dibatasi waktu serta ruang, etika dalam bermedia sosial sangat dibutuhkan.

Perlawanan terhadap pajak dengan menggunakan media sosial belakangan ini kerap kali ditemui. Fenomena yang terjadi mengarah pada gejala "no viral no justice". Wajib pajak cenderung menuangkan keberatannya atas pajak yang harus dibayar di media sosial dibandingkan dengan menempuh mekanisme yang telah disediakan dalam hukum acara perpajakan.

Menurut mereka, menuangkan ketidakpuasan atas pemungutan pajak pada media sosial diharapkan dapat lebih cepat menarik perhatian publik sampai pihak otoritas pajak mendapatkan tekanan dari masyarakat. Namun, apa yang dituangkan dalam konten media sosial tersebut belum dapat divalidasi kebenarannya. Singkatnya, wajib pajak menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menunjukkan ketidakpuasan atas pelayanan yang diterima hingga keberatan atas besaran pajak yang harus dibayar.

No Viral, No Justice

Gejala no viral, no justice menyebabkan pergeseran fokus dari pencari keadilan menjadi pencari sensasi. Fenomena ini lebih menitikberatkan pada upaya memancing amarah publik terhadap otoritas pajak daripada mencari solusi sampai mengakibatkan muculnya mosi untuk tidak membayar pajak.

Para wajib pajak belakangan ini lebih cenderung menempuh trial by press dibandingkan menempuh jalur litigasi maupun non-litigasi yang telah disediakan sebagai hak wajib pajak dalam peraturan perundang-undangan pajak. Tidak terangnya kasus yang dihadapi wajib pajak karena tidak menjelaskan fakta secara gamblang pada konten media sosial membuat publik mengarahkan telunjuk tuduhan ketidakadilan kepada aparatur pajak. Padahal, hal ini seharusnya tidak terjadi jika wajib pajak memahami hak-haknya sebagai wajib pajak.

Media sosial digunakan sebagai alat untuk melakukan keberatan atas pajak yang harus dibayar. Wajib pajak tidak lagi melihat efek samping negatif atas apa yang mereka lakukan di media sosial. Apa yang seharusnya menjadi rahasia justru diungkapkan di ruang publik. Hal ini belum lagi mempertimbangkan kebenaran informasi yang disampaikan wajib pajak di media sosial. Tentu apabila hal yang disampaikan di media sosial memuat informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, hal itu berpotensi melibatkan hukum. 

Upaya yang Dilakukan DJP

Menanggapi kondisi ini, DJP sebagai otoritas pajak mengefektifkan pelaksanaan edukasi perpajakan, baik melalui media sosial, media cetak, media massa, ataupun tatap muka. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2021 tanggal 17 Juni 2021 tentang Edukasi Perpajakan. Tujuan edukasi perpajakan yang dilakukan tersebut adalah untuk meningkatkan kesadaran pajak, pengetahuan dan keterampilan perpajakan, dan kepatuhan perpajakan melalui perubahan perilaku masyarakat.

Dari sisi wajib pajak, dengan adanya kegiatan edukasi perpajakan yang efektif, wajib pajak diharapkan agar sadar akan hak dan kewajibannya. Di samping sifat pajak yang berupa kewajiban, wajib pajak juga memiliki hak legal sebagaimana yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dengan demikian, apabila terdapat ketidakpuasan atas pajak yang harus dibayar, wajib pajak dapat menempuh jalur litigasi pada badan peradilan pajak atapun jalur non-litigasi berupa pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi maupun pembatalan surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak. Say no to no viral, no justice.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.