Meneropong Pajak Credit Union, oleh: Erin Fadilah Sari

Oleh: Erin Fadilah Sari, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Keberhasilan pembangunan ekonomi pedesaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional didukung oleh aktivitas usaha masyarakat pedesaan. Umumnya, aktivitas ekonomi tersebut didominasi oleh sektor pertanian, perdagangan, industri rumah tangga, serta usaha-usaha mikro dan kecil lainnya, dengan melibatkan tenaga kerja dan pelaku usaha seperti buruh tani/petani, pengrajin, pedagang, dan pengusaha kelas UKM.

Sayangnya, masalah permodalan menjadi faktor utama yang dapat menghambat produtivitas usaha masyarakat pedesaan. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap taraf hidup golongan masyarakat ini. Permasalahan klasik yang sering terjadi adalah kurangnya ketersediaan modal bagi mereka. Akses ke lembaga keuangan formal seperti perbankan sulit diraih, karena persoalan administrasi, kolateral, serta kecenderungan sebagian besar kreditnya justru disalurkan untuk sektor usaha dan industri yang sudah mapan. Akibatnya, banyak lembaga keuangan non formal menjadi populer bagi masyarakat pedesaan lantaran persyaratan administrasi yang lebih mudah dan sederhana.

Semua koperasi simpan pinjam di Indonesia menginduk pada Induk Koperasi Kredit (Inkopdit), yang dulu bernama Credit Union Counselling Office (CUCO). Berdasarkan data Inkopdit tahun 2016, jumlah koperasi kredit yang ada di Indonesia adalah sebanyak 914 koperasi, dengan jumlah anggota lebih dari 2,7 juta orang, dan mengelola jumlah simpanan sebesar Rp22,69 triliun. Nilai total aset hingga Juni 2016, lebih dari Rp25 triliun. Sungguh bukan jumlah yang sedikit.

Fakta tersebut selaras dengan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2016 oleh Otoritas Jasa Keuangan yang menyebutkan bahwa tingkat indeks literasi keuangan Indonesia telah meningkat 7,82 persen menjadi 29,66 persen pada tahun 2016 dari 21,84 persen di tahun sebelumnya (2015). Salah satu penyebab naiknya “tingkat melek keuangan” adalah makin menjamurnya koperasi kredit di Indonesia. Salah satu koperasi kredit yang sangat berperan dalam membangun perekonomian Indonesia, terutama di pedesaan adalah Credit Union (CU).

CU merupakan sebuah lembaga keuangan berbentuk koperasi, yang menyediakan jasa-jasa keuangan seperti tabungan, pinjaman, asuransi, dan jasa pengiriman uang (WOCCU 2003). Pada dasarnya CU merupakan lembaga kredit yang memberikan pinjaman modal kepada anggotanya secara swadaya. Artinya, modalnya dari anggota, dikelola oleh anggota, dan disalurkan kembali untuk kesejahteraan anggota. Mekanisme penyaluran dan fitur produk simpan pinjam CU, termasuk pengelolaan dan pelayanan ke anggota, mempertimbangkan kearifan lokal atau budaya setempat.

Tak heran, CU berkembang pesat di banyak wilayah, terutama CU di Kalimantan yang dapat dikatakan sebagai CU terbaik di Indonesia. Tidak sedikit masyarakat Kalimantan yang menyebut Credit Union sebagai “Bank-nya Orang Dayak”. Alasannya, hanya CU yang mau dan mampu memberikan jasa layanan keuangan ke masyarakat Dayak hingga ke pedalaman di Kalimantan. Pada tahun 2010, tercatat ada tiga CU terbesar di Indonesia, yang semuanya beroperasi di Kalimantan Barat, yakni CU Lantang Tipo, CU Pancur Kasih, dan CU Keling Kumang. Berdasarkan data Dinas Koperasi UMKM Kalimantan Barat hingga tahun 2016, tercatat 56 CU dengan jumlah anggota lebih dari 1,1 juta orang atau 41,08% dari total anggota nasional. Aset yang dimiliki sebesar Rp 13,41 triliun atau sekitar 52,03% aset nasional.

CU di Kalimantan Barat sejatinya memang merupakan barometer gerakan CU di Indonesia. Sampai saat ini, CU tergolong lembaga keuangan yang sehat dan menguntungkan secara berkelanjutan. Struktur finansialnya cukup efektif, sebagian besar pembiayaannya didanai oleh simpanan sukarela anggota, dan sebagian besar modalnya disalurkan pada alternatif investasi berbunga tinggi. Pengelolaan likuiditasnya juga baik dan beroperasi secara menguntungkan melalui biaya operasional yang relatif rendah, namun tetap mampu menghasilkan tingkat bunga yang dapat mempertahankan nilai riil simpanan anggota. Walaupun demikian, perkembangan dan eksistensi CU di Indonesia masih menyisakan problematika yang memprihatinkan dari sisi pengelolaan keuangan negara. Kinerja dan kontribusi CU, belum diimbangi dengan kewajiban pokoknya sebagai sebuah badan hukum ekonomi, yakni pembayaran pajak ke negara. 

Kewajiban Pajak CU

CU sebagai koperasi, termasuk dalam kategori Wajib Pajak Badan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP). Sebagai Wajib Pajak Badan, CU harus melakukan kewajiban perpajakan, termasuk memungut pajak atau memotong pajak tertentu. Secara umum CU telah memenuhi ketentuan sebagai Subjek Pajak Badan dengan kewajiban antara lain wajib mendaftarkan diri dan memiliki NPWP, menghitung, membayar dan melaporkan PPh sebagai koperasi --PPh Pasal 25 dan Pasal 29, melakukan pemotongan PPh, yaitu PPh Pasal 21, Pasal 23, Pasal 4 ayat (2) final, serta pajak lainnya.

Kewajiban perpajakan bagi CU kembali ditegaskan dalam PP No. 15 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi untuk dilakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) final. Peraturan lebih lanjut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi.

Peraturan tersebut menetapkan bahwa atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di Indonesia kepada orang pribadi, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. Selanjutnya Pasal 2 menyebutkan besarnya Pajak Penghasilan dimaksud adalah sebagai berikut. Pertama, 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp 240.000,00 per bulan; kedua, 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari Rp 240.000,00 per bulan. 

Untuk mengetahui perbandingan pengenaan PPh Pasal 4 (2) a, simulasi sederhana atas bunga simpanan bank dan CU dapat dilihat pada tablel di bawah ini.

Uraian Bank CU Tarif PPh 20% 10%

Batas Bunga - 240.000

Asumsi: Bunga 6% per th (0,5% per bulan)

Batas Tabungan (per bulan) 7.500.000 48.000.000

 

Misal:

1. Dana Tabungan dalam 1 bulan 8.000.000 8.000.000

Bunga 40.000 40.000

Tarif PPh 20% 0%

PPh Dipotong 8.000 -

 

2. Dana Tabungan dalam 1 bulan *************.000.000

Bunga 250.000 250.000

Tarif PPh 20% 10%

PPh Dipotong 50.000 25.000

Dari tabel tersebut, terlihat bahwa pajak atas bunga simpanan koperasi lebih kecil dari bunga bank. Artinya, pemerintah telah memberikan fasilitas lebih kepada CU dengan mengenakan tarif pajak yang lebih rendah dan batasan simpanan yang lebih tinggi. Hal ini selaras dengan semangat melindungi dan merangsang tumbuh-kembangnya sektor UKM. Dengan demikian, para pegiat CU tidak perlu khawatir terbebani dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.

Informasi seperti ini mungkin belum diketahui secara luas oleh masyarakat, khususnya anggota CU. Sehingga, pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak harus terus melakukan penyuluhan (edukasi) kepada CU dan anggotanya sehingga informasi dapat diterima secara benar dan utuh.

CU telah berkontribusi nyata dalam peningkatan ekonomi masyarakat dan pemberatasan kemiskinan. CU mampu mengubah mindset masyarakat di pedesaan khususnya, sehingga menjadi pandai mengelola keuangan rumah tangga dan mampu merencanakan hari depannya. Tentu akan lebih baik lagi, apabila CU dapat mengambil peran yang lebih besar bagi bangsa dan negara, dengan membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku. Beberapa lembaga terkait, seperti Kementerian Koperasi dan UKM, Kemendes, Kementerian Keuangan, dan pemerintah daerah, perlu melakukan sinergi, koordinasi dan kerjasama untuk merumuskan optimalisasi potensi pajak CU sebagai sumber penerimaan negara, demi kesejahteraan bersama.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.