Anomali Sebuah Keluarga yang Bernama Indonesia
Oleh: Lindarto Akhir Asmoro, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Esia dipanggil ke ruang Guru Bimbingan Konseling di sekolahnya, salah satu SMP Swasta di kota Tuban. Guru BK bertanya kepada Esia, “Tiga bulan ini kamu belum membayar SPP dan melunasi LKS, ada yang mau kamu ceritakan sebabnya ke Ibu?” Esia menjawab pelan “Tidak, Bu”.
Dengan mendekatkan posisi duduknya, Ibu Guru mencoba mengetahui apa yang sebenarnya terjadi “Apakah orang tuamu sudah mengetahui hal ini?” “Sudah Bu, tapi orang tua saya tidak punya uang untuk membayarnya” tambah Esia menjawab dengan mata berkaca kaca.
Dengan memegang tangan Esia, Bu Guru bertanya kembali mencoba mendalami masalah yang dihadapi muridnya “Ada masalah apa dirumah, Nak?”. Sambil menangis Esia bercerita “Ibu saya masih menunggu uang dari kedua abang saya yang bekerja di pabrik, padahal mereka juga harus menghidupi keluarganya masing-masing. Bapak saya bekerja, tetapi kalau Ibu meminta untuk bayar sekolah, selalu bilang tidak ada uang”.
Dalam cerita sinetron, kisah ini mungkin sudah mengharu biru mengangkat kesedihan dan keterbatasan seorang murid dalam upayanya melanjutkan pendidikan. Kadang kita menilai kisah seperti ini sebagai kisah klise yang menjual air mata sebagai komoditi ceritanya. Tetapi kita lupa bahwa bangsa yang “katanya” kaya dan makmur ini sebenarnya menyimpan banyak sekali cerita seperti kisah Esia.
Sebuah keluarga bernama Indonesia ini mengalami kekurangan uang dalam menjalankan kegiatan sehari hari. Setiap tahun sudah ditetapkan RAPBN serta target penerimaan. Tiap tahun pula Realisasi Penerimaan Negara selalu di bawah target yang ditetapkan, baik dari Sektor Pajak maupun dari Sektor Non Pajak. Sebagai contoh, tahun 2016 Realisasi Penerimaan Negara sebesar Rp. 1.551,8 Triliun darin Realisasi Belanja Negara Rp. 1.859,5 Triliun. Artinya pencapaian Penerimaan Negara sebesar 86,9 % dari Realisasi Belanja Negara (Liputan6.com).
Lebih miris lagi apabila kita lihat sumber Pendapatan Negara pada tahun 2016. Penerimaan Negara dari Pajak sebesar Rp. 1.283,6 Triliun (82,72%) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar 262,4 Triliun (16,91%) . Penerimaan Negara Bukan Pajak terdiri dari Penerimaan dari Sumber Daya Alam sebesar Rp.65,5 Triliun (72,3%) dan dari Pendapatan Bagian Laba BUMN Rp. 37,1 Triliun (27,7%) (Tempo.co).
Apabila kita kembalikan dalam sebuah keluarga Kementerian Keuangan (DJP dan DJBC) sebagai Otoritas Pemungut Pajak dapat dianalogikan sebagai ibu Esia yang sebenarnya tugasnya hanya menerima (memungut) uang dari warga negara yang merupakan anggota keluarga. Sedangkan BUMN seharusnya menjadi seorang bapak yang memberi nafkah kepada seluruh rakyat Indonesia dengan segala usahanya. Apalagi seorang bapak telah mendapat sumber daya yang dibutuhkan untuk mencari nafkah tersebut. Kalaupun tidak bisa sepenuhnya menanggung biaya operasional rumah tangga, setidaknya dapat menyumbangkan porsi yang sama dengan apa yang telah diusahakan Ibu Esia dalam menunjang kehidupan keluarganya.
Mampukah Bapak Esia berusaha maksimal menafkahi keluarganya? Bisa, apabila Bapak Esia mampu bekerja optimal dan mengutamakan kepentingan keluarganya diatas kepentinganya sendiri. Ibu Esia pun bisa turut membantu secara maksimal dalam memungut sebagian pendapatan anak-anaknya dalam proporsi tertentu. Kita doakan bersama agar Esia mampu membayar uang SPP dan LKS-nya, serta kehidupan keluarga Esia berakhir dengan bahagia.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.
- 130 kali dilihat