definisi

Sebelum memahami aspek perpajakan terkait Arsitek, terdapat beberapa pengertian yang perlu kita pahami sesuai ketentuan UU No.6 Tahun 2017 tentang Arsitek sebagaimana telah diubah dengan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Arsitek adalah seseorang yang telah memenuhi syarat dan ditetapkan oleh Dewan untuk melakukan praktik Arsitek, yaitu penyelenggaraan kegiatan untuk menghasilkan karya Arsitektur yang meliputi perencanaan, perancangan, pengawasan, dan/atau pengkajian untuk bangunan gedung dan lingkungannya, serta yang terkait dengan kawasan dan kota. Pada dasarnya, Layanan Praktik Arsitek dapat berupa penyediaan jasa profesional terkait dengan penye­lenggaraan kegiatan Arsitek, termasuk yang dilakukan secara bersama dengan profesi lainnya.

Lingkup layanan praktik arsitek meliputi:

  1. penyusunan studi awal arsitektur;
  2. perancangan bangunan gedung dan lingkungannya;
  3. pelestarian bangunan gedung dan lingkungannya;
  4. perancangan tata bangunan dan lingkungannya; 
  5. penyusunan dokumen perencanaan teknis; dan/atau
  6. pengawasan aspek Arsitektur pada pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dan lingkungannya.

Layanan praktik arsitek yang dapat dilakukan secara bersama dengan profesi lainnya meliputi:

  1. perencanaan kota dan tata guna lahan;
  2. manajemen proyek dan manajemen konstruksi;
  3. pendampingan masyarakat; dan/atau
  4. konstruksi lain.

Sedangkan pengertian dari Arsitektur adalah wujud hasil penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni secara utuh dalam menggubah ruang dan lingkungan binaan sebagai bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia yang memenuhi kaidah fungsi, kaidah konstruksi, dan kaidah estetika serta mencakup faktor keselamatan, keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.

dasar hukum

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan  sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU KUP).
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan  sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU PPh).
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah  sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU PPN)
  4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek sebagaiamana telah diubah dengan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No­mor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 Tentang Batasan Pengusaha Kecil PPN sebagaimana telah diubah dengan Peratur­an Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 197/PMK.03/2017.
  8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (SPT) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Pera­turan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  9. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indo­nesia Nomor 258/PMK.03/2008 Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Peng­hasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehu­bungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
  11. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemoton­gan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghas­ilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
  12. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 Tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto
  13. Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-1/PJ/2023 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 atas Penghasilan Royalti yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menerapkan Penghitungan Pajak Penghasilan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

objek

  1. Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
  2. Penghasilan dari pekerjaan bebas adalah penghasilan dari pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
  3. Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagai arsitek berupa imbalan hasil kerja atas layanan praktik arsitek baik dalam hal penyediaan jasa professional terkait dengan penyelenggaraan kegiatan arsitek maupun Layanan Praktik Arsitek yang dilakukan secara bersama dengan profesi lainnya.
  4. Penghasilan selain dari pekerjaan bebas yaitu:
    1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja, misalnya seorang Arsitek bekerja sebagai karyawan perusahaan kontraktor.
    2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan misalnya penghasilan dari usaha perdagangan, restoran, salon kecantikan, usaha pom bensin, dan lain-lain.
    3. Penghasilan dalam negeri lainnya yang bersifat tidak final berupa komisi, hadiah atau imbalan lain, misalnya Arsitek mendapatkan komisi terkait dengan jasa perantara;
    4. Penghasilan dari modal yang berupa harta bergerak ataupun harta tak bergerak seperti:
      1. bunga, misalnya Arsitek memperoleh penghasilan bunga; 
      2. royalti, misalnya Arsitek mendapatkan royalti atas hak paten atau intelectual property yang dimiliki/ ditemukan;
      3. sewa harta selain tanah/bangunan, misalnya penghasilan dari sewa truk/ mobil;
      4. keuntungan dari penjualan/pengalihan harta, misalnya keuntungan dari penjualan mobil, motor, kapal dsb;
    5. Penghasilan dalam negeri yang dikenakan PPh yang bersifat final, misalnya penghasilan dari sewa tanah dan/atau bangunan, penghasilan berupa bunga bank/ obligasi, penghasilan dari pengalihan saham di bursa efek Indonesia.
    6. Penghasilan luar negeri.

hak

Secara umum hak Arsitek sebagai wajib pajak meliputi:

  1. Wajib Pajak berhak mendapatkan pelayanan yang baik dalam memenuhi ketentuan perpajakan
  2. Wajib pajak mempunyai hak untuk mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak atau pengembalian atas pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang
  3. Dalam hal dilakukan pemeriksaan Wajib Pajak berhak antara lain:
    1. meminta kepada Pemeriksa untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor
    2. meminta kepada Pemeriksa untuk menunjukkan Surat Perintah Pemeriksaan
    3. melihat tanda pengenal Pemeriksa
    4. mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan
    5. meminta rincian atau penjelasan terkait perbedaan antara temuan hasil pe­meriksaan dengan SPT
    6. menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan
    7. hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang diten­tukan
    8. mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance
  4. Hak untuk mengajukan pembetulan atas SPT
  5. Hak untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan apabila sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, sepanjang mulainya penyidikan belum disampaikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
  6. Hak untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT walaupun sedang dilakukan pemeriksaan, sepanjang pemeriksa belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan
  7. Hak untuk mengajukan pembetulan, keberatan, banding dan peninjauan kembali
  8. Hak untuk mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
  9. Hak untuk mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar
  10. Hak untuk mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar
  11. Hak untuk mengajukan pembatalan pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa melalui penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa pembahasan akhir hasil pemeriksaan.
  12. Hak untuk membayar atau melunasi kerugian pada pendapatan negara dalam tahap penyidikan maupun persidangan apabila Wajib Pajak sedang dilakukan tindakan penyidikan atau persidangan atas tindak pidana perpajakan.
  13. Hak kerahasiaan bagi Wajib Pajak yaitu:
    1. SPT, laporan keuangan dan dokumen lainn­ya yang dilaporkan oleh Wajib Pajak
    2. Data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia
    3. Dokumen atau rahasia Wajib Pajak lainnya sesuai ketentuan Wajib Pajak yang berlaku
  14. Hak untuk mengajukan permohonan penundaan pembayaran pajak
  15. Hak untuk mengajukan permohonan pengangsuran pembayaran pajak
  16. Hak untuk mengajukan permohonan penundaan pelaporan SPT Tahunan
  17. Hak untuk mengajukan permohonan pengurangan PPh Pasal 25
  18. Hak untuk mengajukan permohonan pengurangan PBB
  19. Hak untuk diberikan pembebasan Pajak, sesuai ketentuan yang berlaku
  20. Hak untuk mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
  21. Hak untuk mendapat pajak ditanggung pemerin­tah, sesuai ketentuan yang berlaku
  22. Hak untuk mendapatkan insentif pajak
  23. Hak untuk memperoleh imbalan bunga sesuai ketentuan yang berlaku, misalnya surat ketetapan pajak atas pemeriksaan SPT LB (Pasal 17B UU KUP) terlambat diterbitkan.

kewajiban

Sebagai wajib pajak dalam negeri, Arsitek memiliki kewajiban sebagai berikut:

  1. mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
  2. wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai sebagai Pengu­saha Kena Pajak (PKP) apabila peredaran usahanya melebihi 4,8 milyar dalam satu Tahun Pajak.
  3. kewajiban pembayaran, pemotongan/pemungutan dan pelaporan pajak:
    1. melakukan pembayaran PPh Pasal 25
    2. melakukan pemotongan atas PPh Pasal 21 apabila memiliki karyawan.
    3. melakukan  pemotongan atas PPh Pasal 4 ayat 2 apabila Arsitek sebagai penyewa den­gan pemilik tempat adalah Orang Pribadi serta ditunjuk sebagai pemotong.
    4. menyampaikan Surat Pemberitahun SPT PPh.
    5. Arsitek sebagai wajib pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas diwajib­kan untuk melakukan pembukuan, apabila Arsitek memiliki penghasilan dibawah Rp 4.8 milyar maka diperbolehkan untuk memilih menggunakan pencatatan.
    6. menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21.
    7. memungut, menyetor, dan menyampaikan SPT Masa PPN apabila telah dikukukan sebagai PKP.

Catatan

Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas yang terdiri atas pengacara, akuntan, arsitek, dokter, kosultan, notaris, PPAT, penilai dan aktuaris.

dpp

  1. Arsitek yang menggunakan pembukuan maka penghitungannya penghasilan nettonya adalah:

Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto -  Biaya Usaha

Biaya usaha adalah biaya-biaya yang digunakan sehubungan dengan mendapatkan, menagih, dan me­melihara penghasilan.

  1. Arsitek yang menggunakan pencatatan, tata cara penghitungan penghasilan netonya  adalah sebagai berikut:

Penghasilan Neto= %Norma x Penghasilan Bruto
Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Neto - PTKP

PPh terutang = Tarif PPh Pasal 17 (1) huruf a x Penghasilan Kena Pajak 

Lapisan Penghasilan Kena Pajak

Tarif Pajak

sampai dengan Rp 60.000.000,00

5%

di atas Rp60.000.000,00 sampai dengan Rp250.000.000,00

15%

di atas Rp250.000.000,00 sampai dengan Rp500.000.000,00

25%

di atas Rp500.000.000,00 sampai dengan Rp5.000.000.000,00

30%

diatas Rp5.000.000.000,00

35%

  1. Pihak yang membayarkan imbalan jasa kepada arsitek harus melakukan pemotongan PPh 21 dengan kriteria penerima penghasilan Bukan Pegawai:
    1. Apabila Arsitek memiliki NPWP dan menerima/memperoleh penghasilan semata-mata dari satu pemberi penghasilan yang bersifat berkesinambungan maka pemotongannya adalah sebagai berikut:

DPP = (50% X Penghasilan bruto) – PTKP Per Bulan
PPh Terutang = Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh X DPP

    1. Apabila Arsitek menerima/memperoleh penghasilan yang tidak bersifat berkesinambungan atau menerima penghasilan yang berkesinambungan dan mempunyai penghasilan lain maka pemotongannya sebagai berikut:

DPP = 50% X Penghasilan bruto 
PPh Terutang = Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a X DPP

  1. Apabila Arsitek memperoleh penghasilan berupa royalti maka akan dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 dengan ketentuan sebagai berikut:
    1. Apabila Arsitek dalam menghitung Penghasilan Neto menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan menyampaikan Bukti Penerimaan Surat (BPS) pemberitahuan norma ke pemotong sebelum dilakukan pemotongan

PPh 23 atas royalti: 15% X 40% X Jumlah bruto royalti

(sesuai ketentuan Per-1/PJ/2023)

    1. Apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a

PPh 23 atas royalti = 15% X Jumlah bruto royalti

  1. Arsitek akan mendapatkan bukti potong PPh Pasal 21/ PPh Pasal 23 tersebut yang dapat dipergunakan sebagai kredit pajak untuk mengurangi PPh yang harus dibayar pada SPT Tahunan.
  2. Apabila pemberi imbalan jasa  menggunakan Arsitek Asing maka diwajibkan untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif pajak 20% atau dengan tarif sesuai dengan tax treaty yang ber­laku.
  3. Apabila Arsitek memberikan jasa ke luar negeri, maka bukti potong atas penghasilan jasa luar negeri dapat dikreditkan selama sesuai dengan peraturan perpajakan.

contoh

Kasus 1

Tuan Hafiz Karim dengan status TK/0 adalah seorang Arsitek pada bulan Maret 2022 menerima fee sebesar Rp 300.000.000,00 dari PT Pembangunan Perumahan sebagai imbalan pemberian jasa atas desain rumah proyek Bougenville Es­tate. Bapak Hafiz menerima bukti potong PPh Pasal 21 sebagai berikut :

Penghasilan Kena Pajak        = 50% X 300.000.000

                                                = 150.000.000

PPh Pasal 21:

5%X 60.000.000                     = 3.000.000

15% X 90.000.000                  = 13.500.000

Jumlah                                    = 16.500.000

Selama Tahun 2022, Tuan Hafiz Karim memperoleh penghasilan sebagai berikut:

a

Desain Rumah proyek Bougenville

Rp300.000.000,00

b

Desain Apartemen Nona Dewi

Rp120.000.000,00

c

Desain Rumah Tinggal Tuan Doni

Rp80.000.000,00

Untuk Desain Apartemen Nona Dewi dan Tuan Doni tidak dilakukan pemotongan PPh 21 karena pemberi kerja adalah wajib pajak orang pribadi.

Besarnya PPh terutang yang masih harus dibayar Tn Hafiz Karim adalah sebesar:

 

Penghasilan Bruto

Rp500.000.000,00

Norma Penghitungan Penghasilan Neto

 

50% x Penghasilan Bruto

 

Penghasilan Neto

Rp250.000.000,00

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) TK/0

Rp54.000.000,00

Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Rp196.000.000,00

PPh terutang:

   

5% X 60.000.000 = 3.000.000

 

15% X 136.000.000 = 20.400.000

Rp23.400.000,00

Kredit PPh 21

Rp16.500.000,00

PPh yang harus dibayar

Rp6.900.000,00

Kasus 2

Anissa adalah Arsitek yang berkantor di Ibukota Jakarta. Anissa memiliki status TK/0, selama tahun 2022 peredaran bruto dari profesinya sebagai Arsitek adalah sebesar Rp4.250.000.000,00 (empat miliar dua ratus lima puluh juta Rupiah). Annisa telah mengangsur PPh Pasal 25 per bulan, dengan total selama tahun 2022 sebesar Rp62.703.600,00. Annisa memiliki bukti potong PPh Pasal 21 atas peng­hasilan yang telah dipotong oleh kliennya sebesar Rp300.000.000,00. Besarnya PPh terutang yang masih harus dibayar oleh Annisa adalah sebesar:

A.

Peredaran Bruto

Rp4.250.000.000,00

B.

Persentase NPPN

50%

C.

Penghasilan Netto (huruf A x huruf B)

Rp2.125.000.000,00

D.

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) TK/0

Rp54.000.000,00

E.

Penghasilan Kena Pajak (huruf C - huruf D)

Rp2.071.000.000,00

F.

PPh terutang Tarif Pasal 17 UU PPh:

5% x Rp60.000.000,00= Rp3.000.000,00

15% x Rp190.000.000,00 = Rp28.500.000,00

25% x Rp250.000.000,00 = Rp62.500.000,00

30% x Rp1.571.000.000,00 = Rp471.300.000,00

Rp565.300.000,00

G.

Kredit Pajak:

1. Angsuran PPh Pasal 25: Rp62.703.600,00

2. PPh Pasal 21yang sudah dipotong: Rp300.000.000,00

Total Kredit Pajak

Rp362.703.600,00

H.

PPh terutang Pasal 29 (huruf F – huruf G)

Rp202.596.400,00

PPh Pasal 29 tersebut wajib dibayarkan oleh Annisa sebelum Annisa menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh-nya.

Kasus 3

Himawan adalah Arsitek yang berkantor di Ibukota Jakarta. Himawan memiliki status K/2, selama Tahun Pajak 2022 peredaran bruto dari profesinya sebagai Arsitek adalah sebesar Rp5.250.000.000,00 (lima miliar dua ratus lima puluh juta Rupiah). Dalam menghitung penghasilan neto Himawan menyelenggarakan pembukuan. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (biaya 3M) selama Tahun Pajak 2022 yang dapat menjadi pengurang peredaran bruto fiskal adalah sebesar Rp2.000.511.000,00 (dua miliar lima ratus sebelas ribu rupiah). Himawan telah mengangsur PPh Pasal 25 perbulan dengan total selama Tahun Pajak 2022 sebesar Rp62.703.600,00. Himawan memiliki bukti potong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang telah dipotong oleh kliennya sebesar Rp350.000.000,00. Besarnya PPh terutang yang masih harus dibayar oleh Himawan adalah sebesar :

A.

Peredaran Bruto

Rp5.250.000.000,00

B.

Biaya 3M

Rp2.000.511.000,00

C.

Penghasilan Netto Fiskal (huruf A – huruf B)

Rp3.249.489.000,00

D.

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

1. Wajib Pajak Rp54.000.000,00

2. Wajib Pajak Kawin Rp4.500.000,00

3. Tanggungan 2 anak Rp9.000.000,00

Total PTKP

Rp67.500.000,00

E.

Penghasikan Kena Pajak (huruf C - huruf D)

Rp3.181.989.000,00

F.

PPh terutang Tarif Pasal 17 UU PPh:

5% x Rp60.000.000,00 = Rp3.000.000,00

15% x Rp190.000.000,00 = Rp28.500.000,00

25% x Rp250.000.000,00 = Rp62.500.000,00

30% x Rp2.681.989.000,00 = Rp804.596.700,00

Rp898.596.700,00

G.

Kredit Pajak Kredit Pajak:

1. Angsuran PPh Pasal 25: Rp62.703.600,00

2. PPh Pasal 21yang sudah dipotong: Rp350.000.000,00

Total Kredit Pajak

Rp412.703.600,00

H.

PPh terutang Pasal 29 (huruf F – huruf G)

Rp485.893.100,00

PPh Pasal 29 tersebut wajib dibayarkan oleh Himawan sebelum menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh-nya.

Kasus 4

Tuan Zubair dengan status PTKP K/2 adalah seorang Arsitek yang bekerja sebagai pegawai tetap di PT A yang bergerak dalam bidang real estat. Pada Tahun Pajak 2022 Tuan Zubair memperoleh gaji dan tunjangan sebesar Rp250.000.000,00.

Penghitungan PPh 21 oleh PT A:

A

Gaji dan Tunjangan

Rp250.000.000,00

B

Biaya Jabatan (5%, max 500.000 per bulan)

Rp6.000.000,00

C

Penghasilan Neto

Rp244.000.000,00

D

Penghasilan Tidak Kena Pajak:

Diri Wajib Pajak             Rp54.000.000,00

Kawin                              Rp4.500.000,00

Tanggungan 2 anak         Rp9.000,000,00

 

 

 

 

 

Rp67.500.000,00

E

Penghasilan Kena Pajak

Rp176.500.000,00

F

PPh 21 Terutang

5% X 60.000.000 = 3.000.000

15% X 116.500.000=17.475.000

 

 

Rp20.475.000,00

G

PPh 21 dipotong PT A (bukti 1721 A1)

Rp20.475.000,00

 

Apabila Tuan Zubair hanya memperoleh penghasilan sebagai pegawai tetap di PT A tersebut maka Tuan Zubair bisa melaporkan SPT Tahunan PPh dengan formulir 1770 S dengan status SPT Nihil.

Tags