Sebelum memahami aspek perpajakan terkait Arsitek, terdapat beberapa pengertian yang perlu kita pahami sesuai ketentuan UU No.6 Tahun 2017 tentang Arsitek sebagaimana telah diubah dengan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Arsitek adalah seseorang yang telah memenuhi syarat dan ditetapkan oleh Dewan untuk melakukan praktik Arsitek, yaitu penyelenggaraan kegiatan untuk menghasilkan karya Arsitektur yang meliputi perencanaan, perancangan, pengawasan, dan/atau pengkajian untuk bangunan gedung dan lingkungannya, serta yang terkait dengan kawasan dan kota. Pada dasarnya, Layanan Praktik Arsitek dapat berupa penyediaan jasa profesional terkait dengan penyelenggaraan kegiatan Arsitek, termasuk yang dilakukan secara bersama dengan profesi lainnya.
Lingkup layanan praktik arsitek meliputi:
- penyusunan studi awal arsitektur;
- perancangan bangunan gedung dan lingkungannya;
- pelestarian bangunan gedung dan lingkungannya;
- perancangan tata bangunan dan lingkungannya;
- penyusunan dokumen perencanaan teknis; dan/atau
- pengawasan aspek Arsitektur pada pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dan lingkungannya.
Layanan praktik arsitek yang dapat dilakukan secara bersama dengan profesi lainnya meliputi:
- perencanaan kota dan tata guna lahan;
- manajemen proyek dan manajemen konstruksi;
- pendampingan masyarakat; dan/atau
- konstruksi lain.
Sedangkan pengertian dari Arsitektur adalah wujud hasil penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni secara utuh dalam menggubah ruang dan lingkungan binaan sebagai bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia yang memenuhi kaidah fungsi, kaidah konstruksi, dan kaidah estetika serta mencakup faktor keselamatan, keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU KUP).
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU PPh).
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU PPN)
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek sebagaiamana telah diubah dengan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 Tentang Batasan Pengusaha Kecil PPN sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 197/PMK.03/2017.
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (SPT) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
- Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 258/PMK.03/2008 Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
- Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
- Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 Tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto
- Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-1/PJ/2023 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 atas Penghasilan Royalti yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menerapkan Penghitungan Pajak Penghasilan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
- Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
- Penghasilan dari pekerjaan bebas adalah penghasilan dari pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
- Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagai arsitek berupa imbalan hasil kerja atas layanan praktik arsitek baik dalam hal penyediaan jasa professional terkait dengan penyelenggaraan kegiatan arsitek maupun Layanan Praktik Arsitek yang dilakukan secara bersama dengan profesi lainnya.
- Penghasilan selain dari pekerjaan bebas yaitu:
- Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja, misalnya seorang Arsitek bekerja sebagai karyawan perusahaan kontraktor.
- Penghasilan dari usaha dan kegiatan misalnya penghasilan dari usaha perdagangan, restoran, salon kecantikan, usaha pom bensin, dan lain-lain.
- Penghasilan dalam negeri lainnya yang bersifat tidak final berupa komisi, hadiah atau imbalan lain, misalnya Arsitek mendapatkan komisi terkait dengan jasa perantara;
- Penghasilan dari modal yang berupa harta bergerak ataupun harta tak bergerak seperti:
- bunga, misalnya Arsitek memperoleh penghasilan bunga;
- royalti, misalnya Arsitek mendapatkan royalti atas hak paten atau intelectual property yang dimiliki/ ditemukan;
- sewa harta selain tanah/bangunan, misalnya penghasilan dari sewa truk/ mobil;
- keuntungan dari penjualan/pengalihan harta, misalnya keuntungan dari penjualan mobil, motor, kapal dsb;
- Penghasilan dalam negeri yang dikenakan PPh yang bersifat final, misalnya penghasilan dari sewa tanah dan/atau bangunan, penghasilan berupa bunga bank/ obligasi, penghasilan dari pengalihan saham di bursa efek Indonesia.
- Penghasilan luar negeri.
Secara umum hak Arsitek sebagai wajib pajak meliputi:
- Wajib Pajak berhak mendapatkan pelayanan yang baik dalam memenuhi ketentuan perpajakan
- Wajib pajak mempunyai hak untuk mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak atau pengembalian atas pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang
- Dalam hal dilakukan pemeriksaan Wajib Pajak berhak antara lain:
- meminta kepada Pemeriksa untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor
- meminta kepada Pemeriksa untuk menunjukkan Surat Perintah Pemeriksaan
- melihat tanda pengenal Pemeriksa
- mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan
- meminta rincian atau penjelasan terkait perbedaan antara temuan hasil pemeriksaan dengan SPT
- menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan
- hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan
- mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance
- Hak untuk mengajukan pembetulan atas SPT
- Hak untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan apabila sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, sepanjang mulainya penyidikan belum disampaikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
- Hak untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT walaupun sedang dilakukan pemeriksaan, sepanjang pemeriksa belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan
- Hak untuk mengajukan pembetulan, keberatan, banding dan peninjauan kembali
- Hak untuk mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
- Hak untuk mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar
- Hak untuk mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar
- Hak untuk mengajukan pembatalan pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa melalui penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa pembahasan akhir hasil pemeriksaan.
- Hak untuk membayar atau melunasi kerugian pada pendapatan negara dalam tahap penyidikan maupun persidangan apabila Wajib Pajak sedang dilakukan tindakan penyidikan atau persidangan atas tindak pidana perpajakan.
- Hak kerahasiaan bagi Wajib Pajak yaitu:
- SPT, laporan keuangan dan dokumen lainnya yang dilaporkan oleh Wajib Pajak
- Data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia
- Dokumen atau rahasia Wajib Pajak lainnya sesuai ketentuan Wajib Pajak yang berlaku
- Hak untuk mengajukan permohonan penundaan pembayaran pajak
- Hak untuk mengajukan permohonan pengangsuran pembayaran pajak
- Hak untuk mengajukan permohonan penundaan pelaporan SPT Tahunan
- Hak untuk mengajukan permohonan pengurangan PPh Pasal 25
- Hak untuk mengajukan permohonan pengurangan PBB
- Hak untuk diberikan pembebasan Pajak, sesuai ketentuan yang berlaku
- Hak untuk mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
- Hak untuk mendapat pajak ditanggung pemerintah, sesuai ketentuan yang berlaku
- Hak untuk mendapatkan insentif pajak
- Hak untuk memperoleh imbalan bunga sesuai ketentuan yang berlaku, misalnya surat ketetapan pajak atas pemeriksaan SPT LB (Pasal 17B UU KUP) terlambat diterbitkan.
Sebagai wajib pajak dalam negeri, Arsitek memiliki kewajiban sebagai berikut:
- mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
- wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila peredaran usahanya melebihi 4,8 milyar dalam satu Tahun Pajak.
- kewajiban pembayaran, pemotongan/pemungutan dan pelaporan pajak:
- melakukan pembayaran PPh Pasal 25
- melakukan pemotongan atas PPh Pasal 21 apabila memiliki karyawan.
- melakukan pemotongan atas PPh Pasal 4 ayat 2 apabila Arsitek sebagai penyewa dengan pemilik tempat adalah Orang Pribadi serta ditunjuk sebagai pemotong.
- menyampaikan Surat Pemberitahun SPT PPh.
- Arsitek sebagai wajib pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas diwajibkan untuk melakukan pembukuan, apabila Arsitek memiliki penghasilan dibawah Rp 4.8 milyar maka diperbolehkan untuk memilih menggunakan pencatatan.
- menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21.
- memungut, menyetor, dan menyampaikan SPT Masa PPN apabila telah dikukukan sebagai PKP.
Catatan
Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas yang terdiri atas pengacara, akuntan, arsitek, dokter, kosultan, notaris, PPAT, penilai dan aktuaris.
- Arsitek yang menggunakan pembukuan maka penghitungannya penghasilan nettonya adalah:
Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto - Biaya Usaha
Biaya usaha adalah biaya-biaya yang digunakan sehubungan dengan mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
- Arsitek yang menggunakan pencatatan, tata cara penghitungan penghasilan netonya adalah sebagai berikut:
Penghasilan Neto= %Norma x Penghasilan Bruto
Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Neto - PTKP
PPh terutang = Tarif PPh Pasal 17 (1) huruf a x Penghasilan Kena Pajak
Lapisan Penghasilan Kena Pajak |
Tarif Pajak |
sampai dengan Rp 60.000.000,00 |
5% |
di atas Rp60.000.000,00 sampai dengan Rp250.000.000,00 |
15% |
di atas Rp250.000.000,00 sampai dengan Rp500.000.000,00 |
25% |
di atas Rp500.000.000,00 sampai dengan Rp5.000.000.000,00 |
30% |
diatas Rp5.000.000.000,00 |
35% |
- Pihak yang membayarkan imbalan jasa kepada arsitek harus melakukan pemotongan PPh 21 dengan kriteria penerima penghasilan Bukan Pegawai:
- Apabila Arsitek memiliki NPWP dan menerima/memperoleh penghasilan semata-mata dari satu pemberi penghasilan yang bersifat berkesinambungan maka pemotongannya adalah sebagai berikut:
DPP = (50% X Penghasilan bruto) – PTKP Per Bulan
PPh Terutang = Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh X DPP
-
- Apabila Arsitek menerima/memperoleh penghasilan yang tidak bersifat berkesinambungan atau menerima penghasilan yang berkesinambungan dan mempunyai penghasilan lain maka pemotongannya sebagai berikut:
DPP = 50% X Penghasilan bruto
PPh Terutang = Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a X DPP
- Apabila Arsitek memperoleh penghasilan berupa royalti maka akan dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 dengan ketentuan sebagai berikut:
- Apabila Arsitek dalam menghitung Penghasilan Neto menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan menyampaikan Bukti Penerimaan Surat (BPS) pemberitahuan norma ke pemotong sebelum dilakukan pemotongan
PPh 23 atas royalti: 15% X 40% X Jumlah bruto royalti
(sesuai ketentuan Per-1/PJ/2023)
-
- Apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a
PPh 23 atas royalti = 15% X Jumlah bruto royalti
- Arsitek akan mendapatkan bukti potong PPh Pasal 21/ PPh Pasal 23 tersebut yang dapat dipergunakan sebagai kredit pajak untuk mengurangi PPh yang harus dibayar pada SPT Tahunan.
- Apabila pemberi imbalan jasa menggunakan Arsitek Asing maka diwajibkan untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif pajak 20% atau dengan tarif sesuai dengan tax treaty yang berlaku.
- Apabila Arsitek memberikan jasa ke luar negeri, maka bukti potong atas penghasilan jasa luar negeri dapat dikreditkan selama sesuai dengan peraturan perpajakan.
Kasus 1
Tuan Hafiz Karim dengan status TK/0 adalah seorang Arsitek pada bulan Maret 2022 menerima fee sebesar Rp 300.000.000,00 dari PT Pembangunan Perumahan sebagai imbalan pemberian jasa atas desain rumah proyek Bougenville Estate. Bapak Hafiz menerima bukti potong PPh Pasal 21 sebagai berikut :
Penghasilan Kena Pajak = 50% X 300.000.000
= 150.000.000
PPh Pasal 21:
5%X 60.000.000 = 3.000.000
15% X 90.000.000 = 13.500.000
Jumlah = 16.500.000
Selama Tahun 2022, Tuan Hafiz Karim memperoleh penghasilan sebagai berikut:
a | Desain Rumah proyek Bougenville | Rp300.000.000,00 |
b | Desain Apartemen Nona Dewi | Rp120.000.000,00 |
c | Desain Rumah Tinggal Tuan Doni | Rp80.000.000,00 |
Untuk Desain Apartemen Nona Dewi dan Tuan Doni tidak dilakukan pemotongan PPh 21 karena pemberi kerja adalah wajib pajak orang pribadi.
Besarnya PPh terutang yang masih harus dibayar Tn Hafiz Karim adalah sebesar:
Penghasilan Bruto | Rp500.000.000,00 |
Norma Penghitungan Penghasilan Neto |
|
50% x Penghasilan Bruto |
|
Penghasilan Neto | Rp250.000.000,00 |
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) TK/0 | Rp54.000.000,00 |
Penghasilan Kena Pajak (PKP) | Rp196.000.000,00 |
PPh terutang: |
|
5% X 60.000.000 = 3.000.000 |
|
15% X 136.000.000 = 20.400.000 | Rp23.400.000,00 |
Kredit PPh 21 | Rp16.500.000,00 |
PPh yang harus dibayar | Rp6.900.000,00 |
Kasus 2
Anissa adalah Arsitek yang berkantor di Ibukota Jakarta. Anissa memiliki status TK/0, selama tahun 2022 peredaran bruto dari profesinya sebagai Arsitek adalah sebesar Rp4.250.000.000,00 (empat miliar dua ratus lima puluh juta Rupiah). Annisa telah mengangsur PPh Pasal 25 per bulan, dengan total selama tahun 2022 sebesar Rp62.703.600,00. Annisa memiliki bukti potong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang telah dipotong oleh kliennya sebesar Rp300.000.000,00. Besarnya PPh terutang yang masih harus dibayar oleh Annisa adalah sebesar:
A. | Peredaran Bruto | Rp4.250.000.000,00 |
B. | Persentase NPPN | 50% |
C. | Penghasilan Netto (huruf A x huruf B) | Rp2.125.000.000,00 |
D. | Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) TK/0 | Rp54.000.000,00 |
E. | Penghasilan Kena Pajak (huruf C - huruf D) | Rp2.071.000.000,00 |
F. | PPh terutang Tarif Pasal 17 UU PPh: | |
5% x Rp60.000.000,00= Rp3.000.000,00 | ||
15% x Rp190.000.000,00 = Rp28.500.000,00 | ||
25% x Rp250.000.000,00 = Rp62.500.000,00 | ||
30% x Rp1.571.000.000,00 = Rp471.300.000,00 | Rp565.300.000,00 | |
G. | Kredit Pajak: | |
1. Angsuran PPh Pasal 25: Rp62.703.600,00 | ||
2. PPh Pasal 21yang sudah dipotong: Rp300.000.000,00 | ||
Total Kredit Pajak | Rp362.703.600,00 | |
H. | PPh terutang Pasal 29 (huruf F – huruf G) | Rp202.596.400,00 |
PPh Pasal 29 tersebut wajib dibayarkan oleh Annisa sebelum Annisa menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh-nya.
Kasus 3
Himawan adalah Arsitek yang berkantor di Ibukota Jakarta. Himawan memiliki status K/2, selama Tahun Pajak 2022 peredaran bruto dari profesinya sebagai Arsitek adalah sebesar Rp5.250.000.000,00 (lima miliar dua ratus lima puluh juta Rupiah). Dalam menghitung penghasilan neto Himawan menyelenggarakan pembukuan. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (biaya 3M) selama Tahun Pajak 2022 yang dapat menjadi pengurang peredaran bruto fiskal adalah sebesar Rp2.000.511.000,00 (dua miliar lima ratus sebelas ribu rupiah). Himawan telah mengangsur PPh Pasal 25 perbulan dengan total selama Tahun Pajak 2022 sebesar Rp62.703.600,00. Himawan memiliki bukti potong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang telah dipotong oleh kliennya sebesar Rp350.000.000,00. Besarnya PPh terutang yang masih harus dibayar oleh Himawan adalah sebesar :
A. | Peredaran Bruto | Rp5.250.000.000,00 |
B. | Biaya 3M | Rp2.000.511.000,00 |
C. | Penghasilan Netto Fiskal (huruf A – huruf B) | Rp3.249.489.000,00 |
D. | Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) | |
1. Wajib Pajak Rp54.000.000,00 | ||
2. Wajib Pajak Kawin Rp4.500.000,00 | ||
3. Tanggungan 2 anak Rp9.000.000,00 | ||
Total PTKP | Rp67.500.000,00 | |
E. | Penghasikan Kena Pajak (huruf C - huruf D) | Rp3.181.989.000,00 |
F. | PPh terutang Tarif Pasal 17 UU PPh: | |
5% x Rp60.000.000,00 = Rp3.000.000,00 | ||
15% x Rp190.000.000,00 = Rp28.500.000,00 | ||
25% x Rp250.000.000,00 = Rp62.500.000,00 | ||
30% x Rp2.681.989.000,00 = Rp804.596.700,00 | Rp898.596.700,00 | |
G. | Kredit Pajak Kredit Pajak: | |
1. Angsuran PPh Pasal 25: Rp62.703.600,00 | ||
2. PPh Pasal 21yang sudah dipotong: Rp350.000.000,00 | ||
Total Kredit Pajak | Rp412.703.600,00 | |
H. | PPh terutang Pasal 29 (huruf F – huruf G) | Rp485.893.100,00 |
PPh Pasal 29 tersebut wajib dibayarkan oleh Himawan sebelum menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh-nya.
Kasus 4
Tuan Zubair dengan status PTKP K/2 adalah seorang Arsitek yang bekerja sebagai pegawai tetap di PT A yang bergerak dalam bidang real estat. Pada Tahun Pajak 2022 Tuan Zubair memperoleh gaji dan tunjangan sebesar Rp250.000.000,00.
Penghitungan PPh 21 oleh PT A:
A | Gaji dan Tunjangan | Rp250.000.000,00 |
B | Biaya Jabatan (5%, max 500.000 per bulan) | Rp6.000.000,00 |
C | Penghasilan Neto | Rp244.000.000,00 |
D | Penghasilan Tidak Kena Pajak: Diri Wajib Pajak Rp54.000.000,00 Kawin Rp4.500.000,00 Tanggungan 2 anak Rp9.000,000,00
|
Rp67.500.000,00 |
E | Penghasilan Kena Pajak | Rp176.500.000,00 |
F | PPh 21 Terutang 5% X 60.000.000 = 3.000.000 15% X 116.500.000=17.475.000 |
Rp20.475.000,00 |
G | PPh 21 dipotong PT A (bukti 1721 A1) | Rp20.475.000,00 |
Apabila Tuan Zubair hanya memperoleh penghasilan sebagai pegawai tetap di PT A tersebut maka Tuan Zubair bisa melaporkan SPT Tahunan PPh dengan formulir 1770 S dengan status SPT Nihil.
- 14771 kali dilihat