Penulis: Edmalia Rohmani, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Menurut data Kementerian Perdagangan, hingga Desember 2021 terdapat 11,2 juta pelanggan aset kripto di Indonesia dengan nilai transaksi menembus Rp859 triliun. Angka ini melonjak drastis dari jumlah 4 juta pelanggan di tahun 2020 dengan nilai transaksi Rp65 triliun. Kenaikan ini disebabkan oleh pesatnya perkembangan aset kripto sebagai instrumen investasi dan semakin meleknya literasi digital generasi milenial dalam melakukan investasi.

Dulu, keuntungan dari aset kripto didapatkan dari transaksi jual beli di lokapasar aset kripto atau dari kenaikan nilai hasil investasi karena menyimpan dalam periode tertentu. Kini, pemilik aset kripto dapat mendapatkan bunga tahunan dari staking atau penguncian aset kripto selama periode tertentu. Selain itu, terdapat beberapa sumber penghasilan lain dari aset kripto, seperti: Initial Coin Offering (ICO); program referral system; airdrop (kegiatan pembagian koin atau token secara gratis); memperoleh aset kripto dari gim, dan sebagainya yang akan terus berkembang seiring pesatnya teknologi digital.

Dikutip dari zipmex.com, aset kripto masuk ke Indonesia di awal 2013 dan booming di tahun 2017. Bahkan, ketika harga Bitcoin mencapai level tertingginya pada Desember 2017, transaksi harian kripto di Indonesia diperkirakan mencapai triliunan rupiah.

Sayangnya, di tahun tersebut nilai transaksi kripto di Indonesia belum dapat diketahui secara pasti sebab belum ada regulasi yang mengatur pelaporan data transaksi secara resmi. Baru dua tahun kemudian terbit Peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka.

Ketiadaan regulasi sebelum aturan ini berlaku menyebabkan timbulnya ekonomi bawah tanah di Indonesia, yaitu ketika pemilik aset kripto tidak mencatatnya sebagai aset. Hal ini akan menyebabkan potensi kerugian negara karena apabila muncul penghasilan sehubungan dengan kepemilikan aset kripto maka kemungkinan besar akan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan. Oleh sebab itu, para pemilik aset kripto yang memperolehnya di tahun pajak 2016 hingga 2020 namun belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020 dapat mengikuti Program Pengungkapan Sukarela (PPS) Kebijakan II. 

Manfaat PPS Kebijakan II

Apabila pemilik aset kripto mengikuti PPS Kebijakan II, dia harus membayar Pajak Penghasilan (PPh) Final yang dihitung dari tarif dikali harta yang belum diungkapkan. Perlu diingat, PPh Final ini bukanlah pajak atas aset kripto. Metode penghitungan ini merupakan kebijakan untuk memudahkan wajib pajak dalam membayar pajak dan menunaikan kewajibannya yang belum ditunaikan selama tahun pajak 2016 hingga 2020. Apabila tidak mengikuti PPS, maka wajib pajak orang pribadi tersebut akan dikenai PPh ditambah sanksi administrasi atas keterlambatan. Selain itu, wajib pajak harus melaporkan penghasilan untuk tiap tahun pajak di mana penghasilan dari aset kripto tersebut belum dilaporkan.

Karena belum diatur mekanisme khusus terkait pemajakan aset kripto, pemilik aset akan dikenakan PPh Orang Pribadi dengan metode penghitungan PPh secara umum (Pasal 17 UU PPh). Apabila dihitung menggunakan metode ini, lapisan tertinggi untuk tarifnya dapat mencapai 30% (kondisi sebelum UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan berlaku). Hal ini akan memberatkan wajib pajak.

Apabila mengikuti PPS Kebijakan II, pemilik aset kripto hanya perlu membayar Pajak Penghasilan (PPh) Final yang dihitung dari tarif dikalikan nilai harta yang belum diungkapkan. Wajib pajak dapat menggunakan tarif sebagaimana pada Pasal 6 Ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan PPS yang besarnya paling tinggi 18%. Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan pajak yang dibayarkan akan lebih rendah bila dibandingkan dengan tanpa mengikuti PPS.

Selain itu, terdapat manfaat lain tidak diterbitkan ketetapan untuk kewajiban tahun pajak 2016-2020, kecuali Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menemukan harta lain yang kurang diungkap. Tersedia pula jaminan perlindungan data sehingga aset kripto yang dilaporkan tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.

Titik Kritis

Ada dua hal yang perlu menjadi perhatian wajib pajak dan otoritas pajak. Pertama, karena bentuknya yang digital, dapat terjadi perbedaan pengenaan tarif yang disebabkan perbedaan pemahaman terkait status lokasi aset. Kedua, dapat terjadi perbedaan nilai dasar pengenaan pajak yang digunakan sebab perbedaan dalam memahami PMK-196/PMK.03/2021. Menurut penulis, perlu diterbitkan penegasan atau aturan khusus yang mengatur hal tersebut untuk memberikan kepastian hukum dan menegakkan prinsip keadilan pajak bagi peserta PPS.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, apabila penghasilan dari aset kripto selama setahun (di tahun pajak 2016 sampai dengan 2020) melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), maka pemilik aset sudah wajib ber-NPWP. Dalam hal dia baru mendaftar di tahun 2021 dan ingin mengikuti PPS Kebijakan II, maka wajib pajak tetap dapat mengikutinya dengan terlebih dahulu melaporkan SPT Tahunan 2020. Apabila terjadi kendala pelaporan melalui e-Filing, wajib pajak dapat menggunakan aplikasi e-Form PDF untuk melaporkan SPT Tahunan 2020 secara daring.

Jadi, jangan lewatkan kesempatan ini, sebab program hanya berlangsung sampai dengan 30 Juni 2022. Untuk informasi lebih lanjut, wajib pajak dapat menghubungi Saluran Khusus Kring Pajak 1500-008 atau melalui nomor Whatsapp 081156-15008.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.