kinerja gakum 22

Selama tahun 2022, kegiatan penegakan hukum pidana yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berhasil memulihkan kerugian pada pendapatan negara senilai hampir 1,69 triliun rupiah. Kegiatan penegakan hukum pidana di bidang perpajakan dilakukan dengan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan dan forensik digital terhadap tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan pidana asal tindak pidana di bidang perpajakan.

Untuk mendukung komitmen Indonesia menjadi anggota the Financial Action Task Force (FATF) dan menjamin upaya pemulihan kerugian pada pendapatan negara setelah putusan inkrah, selain melakukan penyidikan TPPU, kegiatan penegakan hukum pidana di bidang perpajakan dilakukan dengan penyitaan harta kekayaan dengan hasil harta kekayaan senilai hampir 315,1 miliar rupiah berhasil disita oleh Penyidik Pajak.

Sehubungan dengan tugas DJP untuk menghimpun penerimaan pajak demi kemandirian pembiayaan negara, kegiatan penegakan hukum pidana berkolaborasi dengan fungsi pengawasan di DJP dan menghasilkan penerimaan pajak sebesar 3,33 triliun rupiah.

Penegakan hukum pidana di bidang perpajakan merupakan bagian dari penegakan hukum di bidang perpajakan (tax enforcement) yang menurut Barry Larking merupakan serangkaian kegiatan perpajakan untuk meyakini wajib pajak atau calon wajib pajak telah melaksanakan hak dan memenuhi kewajibannya sebagaimana ketentuan yang berlaku, misalnya melaporkan diri untuk mendapatkan status sebagai Pengusaha Kena Pajak, assessment pajak terutang, mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, serta menyampaikan data dan informasi pajak yang sebenarnya.

Kegiatan penegakan hukum di bidang perpajakan sendiri dimulai dari upaya himbauan, penagihan baik pasif dan aktif, pemeriksaan, hingga tahap penyidikan. Penegakan hukum di bidang perpajakan dinilai dapat memberikan kepastian hukum, melindungi wajib pajak yang sudah patuh, mewujudkan keadilan, dan memberikan manfaat hukum.

Penjelasan Pasal 38 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administratif dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa penegakan hukum di bidang perpajakan terbagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu penegakan hukum administratif dan penegakan hukum pidana.

Penegakan hukum administratif dilakukan dalam rangka pengujian kepatuhan wajib pajak sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan sedangkan penegakan hukum pidana pajak dilakukan dalam rangka penyidikan dugaan tindak pidana di bidang perpajakan. Atas pelanggaran administratif akan dikenai sanksi administratif berupa denda, bunga, atau kenaikan sedangkan atas pelanggaran pidana akan dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara, pidana kurungan dan/atau pidana denda.

Penegakan hukum administratif memiliki titik taut dengan penegakan hukum pidana jika dalam penegakan hukum administratif ditemukan indikasi tindak pidana di bidang perpajakan. Penegakan hukum pidana di bidang perpajakan memiliki fungsi memberikan efek gentar atau takut kepada calon pelaku serta efek jera terhadap pelaku yang akan bermuara ke tingkat kepatuhan pajak dan mengumpulkan penerimaan negara melalui pemulihan kerugian pada pendapatan negara.

Dalam penegakan hukum pidana, wajib pajak diberikan kesempatan untuk menghindari sanksi pemidanaan atau ultimum remedium pada tahap pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, setelah penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti ke penuntut umum dan persidangan.

Pada tahap pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan (sebelum SPDP disampaikan ke Penuntut Umum melalui Korwas PPNS), ultimum remedium diimplementasikan dalam bentuk pembayaran pokok pajak dan sanksi administratif Pasal 8 ayat (3a) UU KUP sebesar 100%.

Sementara itu, pada tahap penyidikan (setelah SPDP disampaikan ke Penuntut Umum melalui Korwas PPNS) sampai dengan tahap persidangan, ultimum remedium diimplementasikan dalam bentuk pembayaran pokok pajak dan sanksi administratif Pasal 44B ayat (2) UU KUP sebesar 100% untuk kealpaan, 300% untuk kesengajaan dan 400% untuk faktur pajak fiktif. Hak wajib pajak untuk memanfaatkan ultimum remedium ini disampaikan oleh Penyidik Pajak dan Penuntut Umum sejak tahap pemeriksaan bukti permulaan sampai dengan tahap persidangan.

Sebagai bagian dari criminal justice system di Indonesia, kegiatan penyidikan di DJP bersinergi dengan kegiatan penegakan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Republik Indonesia (Kejaksaan RI), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta lembaga lainnya baik eksternal maupun internal DJP.

Beberapa kegiatan sinergi yang dilakukan antara lain pelatihan bersama aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Korwas PPNS, Penyidik Pajak dan Advokasi Pajak) bekerja sama dengan Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan MA dan Pusdiklat Pajak, tim satgas asistensi TPPU dan penelusuran aset bekerja sama dengan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan RI, Badan Reserse Kriminal Polri dan PPATK serta sinergi penanganan tindak pidana di bidang perpajakan dengan penanganan tindak pidana korupsi bekerja sama dengan KPK.

Sinergi tersebut menjadi pondasi keberhasilan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan selama masa pandemi Covid19. Dalam 3 (tiga) tahun terakhir keberhasilan tersebut tergambar dalam statistik penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagai berikut:

Kinerja Penyidikan

2020

2021

2022

Berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (P-21)

97

93

98

Berkas perkara diselesaikan dengan Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 44B UU KUP

3

30

48

Jumlah Outstanding Penyidikan TPPU

8

12

13

Jumlah setoran Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 44B UU KUP (Rp)

81,7 miliar

121,3 miliar

352,1 miliar

Nilai penyitaan aset (Rp)

90,0 miliar

1,066 triliun

315,1 miliar

DJP akan terus berupaya semaksimal mungkin untuk menjalankan kewenangan yang diberikan oleh UU demi tegaknya hukum pidana pajak, terpulihkannya kerugian pada pendapatan negara dan komitmen untuk mendukung upaya Indonesia menjadi anggota FATF.

Pemenuhan asas keadilan dilaksanakan oleh DJP melalui penegakan hukum pidana yang adil dan tepat sasaran dengan mengedepankan asas ultimum remedium serta mengutamakan kepentingan negara dan rakyat secara berkeadilan. Penegakan hukum pidana menjadi langkah terakhir yang dilakukan terhadap wajib pajak.