Oleh: Aditya G. Utomo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

“Aku americano satu sama mix platters aja kali ya?” tanyaku yang hanya dibalas anggukan setuju teman-temanku.

Awan hitam saling bergelung, menumpuk satu sama lain, jadi ombak yang bergerak perlahan di langit yang mulai gelap. Kelembapan udara meningkat drastis. Keringat mulai berkumpul lalu meluncur dengan punggungku sebagai ngarainya.

Sial, ini gerah sekali,” kataku dalam hati.

Baju dalamanku sudah hampir basah sepenuhnya, dan bahkan sudah merembes sedikit demi sedikit di area sekitar ketiakku. Untungnya sekarang aku memakai jersey orisinal pemberian pacarku yang daya serap keringatnya cukup baik. Cukuplah untuk memperlihatkan bahwa aku baik-baik saja—tidak kegerahan.

“Enak juga ya tempatnya. Luas banget, Dit,” Putra mengalihkan fokusku. Ia menikmati suasana ramai dan panas ini. Pandangan matanya berkeliling melihat tempat duduk yang sudah penuh oleh orang-orang.

Bener kan, mana layarnya juga gede,aku memberi validasi agar ia bahagia, menunjuk layar yang nanti akan digunakan untuk menyiarkan siaran live sepak bola Indonesia lawan Arab Saudi.

“Rumahmu di mana, Dit? Katanya deket sini ya?” Iqbal tidak ingin tertinggal, ingin ikut obrolan.

“Iya, di belakang kafe ini. Agak ke sana dikit, masuk gang,aku menjelaskan sekenanya. Toh itu juga pertanyaan basa-basi. Tidak mungkin kami tiba-tiba pindah ke rumahku. Kami kan sudah sepakat untuk nobar di sini karena beberapa pertimbangan, salah satunya biar dapat vibes rame-nyaBenar saja, mungkin ada seratus orang yang ikut nonton bareng di kafe dekat rumahku ini.

Meja kami sudah dihampiri waiter dengan membawa nampan penuh makanan dan minumanIa membacakan ulang pesanan kami sambil mengecek apakah semuanya sudah lengkap, lalu menyerahkan nota untuk dibayar langsung. Spesial malam ini, semua pembayaran harus langsung dilakukan di depan katanya.

“Maaf ya, Kak. Soalnya kalo malam nobar, semua wajib dibayar dulu, menghindari yang tidak-tidak," dengan sopan pelayan itu menjelaskan.

“Oh, gapapa, aman aja, jawabku maklum.

Baru selesai aku memindai kode QRISdi meja sebelah terdengar agak jelas supporter bola berdebat tentang bola.

“Ini kalo kalah lagi, STY out aja lah, udah bawa bule di mari masih aja ngampas,ia bersungut-sungut, kesal.

“Iya bener. Pemain naturalisasi udah bejibun gitu kok keok lawan Cina,temannya menambahkan, setuju dengan pendapat pertama.

Yaelah karbit. Ini levelnya udah Asia boy, bukan ASEAN lagi. Udah lah ga usah kaget, dukung aja. Yang ini dijamin win nih,temannya yang lain tampak lebih dewasa dan maklum dengan kekuatan lawan yang dihadapi. Wajahnya terlihat mantap optimis dengan pertandingan kali ini.

Putra yang mendengarkan obrolan tiba-tiba terkekeh seperti tahu ada sesuatu yang salah. Aku yang tertarik mencoba mencari tahu.

“Kenapa, Put? Emang itu Justin Hubner dan kawan-kawan bukan pemain naturalisasi kah?” tanyaku.

“Ngawur! Kocak banget. Di timnas kita sekarang tuh ga ada pemain naturalisasinya. Mereka itu diaspora!” Putra tidak terima. Ia menjelaskan dengan menggebu-gebu.

Halah, sama aja bukannya. Mereka awalnya bukan orang Indo. Terus, main di timnas Indo lewat proses dulu. Ga kaya Witan, Arhan gitu,aku yang sebenarnya sudah paham mencoba untuk memanasi Putra yang sedang semangat-semangatnya.

“Iya, sama-sama ada prosesnya. Tapi, naturalisasi itu mereka harus main di Indo 5 tahun berturut-turut. Kalo diaspora, moyang mereka aslinya orang Indo, tapi lahir dan menetap di negara lain. Dulu, Gonzales tuh naturalisasi, pure ga ada darah Indo tapi bisa main di timnas Indo. Sampe sini, paham ga?” Putra bercerita sambil menggerak-gerakkan tangannya serius.

“Oh, paham. Jadi, salah ya kalo bilang timnas sekarang diisi bule sama naturalisasi?” aku bertanya mengonfirmasi untuk terkahir kalinya.

“Salah kaprah. Mereka sama-sama orang Indo kok, cuman nasib sama gantengnya aja yang beda, ha ha ha,” Putra terkekeh dengan fakta yang tidak dapat dielakkan di akhir kalimatnya.

Aku merenung malam itu, mengingat kembali bunyi Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945 yang  menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat. Berpendapat dan berkomentar adalah hal yang legal di negara ini. Namun, mengapa acap kali kalau masalah perpajakan banyak yang terburu-buru mengritik dan menyanggah tanpa paham substansi dan konteks dari masalah yang dihadapi. Mereka menyudutkan pemerintah pusat yang dalam hal ini berperan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, seakan merupakan sosok paling zalim dan paling maruk yang menguras harta mereka.

Apalagi tentang tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang lagi hangat-hangatnya. Banyak pendapat dan komentar netizen yang seolah-olah menjadi pihak yang paling dirugikan di seluruh dunia. Merasa sudah bayar pajak ini dan itu, banyak sekali, membuat mereka melampiaskan kekesalan dengan membombardir internet dengan ujaran-ujaran yang frekuensi dan topiknya kadang di luar nalar.

Padahal, setelah ditelisik, sering kali yang mereka maksud sudah membayar pajak ini dan itu ternyata adalah pajak kendaraan, pajak restoran, pajak bumi dan bangunan, dan sebagainya yang sebenarnya adalah pajak daerah yang tidak ada hubungannya dengan PPN yang merupakan pajak pusat. Ironi. 

Protes akan pajak pusat dengan gembar-gembor sudah bayar pajak daerah seperti menyebut pemain timnas yang sekarang adalah kumpulan pemain bule!

Tidak masuk akal dan salah kaprah sekali kalau kata Putra, pegawai swasta berumur 26 tahun.

Apakah Indonesia perlu membedakan penyebutan pajak pusat dan pajak daerah untuk menyaring respons yang kadang muncul di masyarakat ketika peraturan terkesan tidak berpihak pada mereka? Agar klaim-klaim “sudah bayar pajak banyak sekali” ini tidak jadi bualan kosong.

Akan kasihan jika rakyat yang protes dan berpendapat justru nantinya ditertawakan karena menyebut timnas isinya pemain naturalisasi, padahal mereka kurang mengerti bahwa antara diaspora dan naturalisasi memiliki pemahaman yang sangat berbeda.

Gantian ya, Dit mau nanya kenapa dah PPN harus dinaikin lagi. Pertama, bikin itungan-nya jelek. Kedua, barang-barang bakal jadi makin mahal kan,” Putra bertanya kebingungan, sedangkan aku, buyar renungannya.

Aku yang bekerja sebagai pelaksana di bagian yang tugas pokok dan fungsinya tidak berhubungan dengan pajak, merasa wajib membuat teman dari zaman SMP-ku ini paham.

“Perasaan aturan PPN yang dinaikin itu udah lama deh, 2021. Udah 3 tahun yang lalu, tapi baru heboh sekarang ya. Itu kenaikannya bertahap juga. Pertama, 11% di tahun 2022 dan 12% di tahun 2025.

Yaelah. Padahal, kita-kita udah bayar pajak terus tapi masih kurang aja ya,” Putra keheranan, tapi aku lebih heran lagi dengan jawaban dia lalu bertanya.

Emang pernah bayar pajak apa Put?” aku mengonfirmasi.

“Pajak motor noh tiap tahun bayar, PBB juga rutin, lha ini di nota aja ada tax-nya," Putra serius menjelaskan, menyebut satu-satu pajak yang ia rasa sudah bayar teratur dengan gestur tangan yang menghitung seakan masih akan ada lagi.

“Semuanya udah dipajaki tapi masih kurang aja ya, hadeh,” Putra mengeluh, kecewa.

Aku hanya mengelus dada sambil membatin dalam hati, “Kan, aku bilang juga apa.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.