Oleh: Nurfita Kusuma Dewi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Tidak banyak artikel yang membahas tentang aspek perpajakan bagi tenaga ahli. Padahal di masa kini, banyak perusahaan yang membutuhkan keahlian dan kecakapan profesional tertentu untuk memenuhi standar kualitas yang telah ditargetkan. Mereka pun menyewa jasa tenaga ahli dari luar perusahaan. Tenaga ahli, meskipun menerima imbalan berkesinambungan, tidak menyandang status pegawai di perusahaan tersebut.

Dalam ranah perpajakan, tenaga ahli tersebut disebut dengan penerima penghasilan Bukan Pegawai. Pasal 1 angka (12) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 (PER-16) menyebutkan bahwa penerima penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan/atau 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.

Ada delapan jenis tenaga ahli yang termasuk dalam kategori penerima penghasilan Bukan Pegawai berdasarkan ketentuan Pasal 3 huruf c ayat 1 PER-16, yaitu : pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris. Penghasilan yang diterima oleh tenaga ahli tersebut dipotong PPh pasal 21 oleh badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa (Pasal 21 ayat (1) huruf (d) UU PPh).

Pihak pemotong, dalam hal ini biasanya bendahara instansi atau bagian keuangan perusahaan, patut memperhatikan tiga hal sebelum memotong imbalan yang diterima oleh  tenaga ahli. Pertama, apakah imbalan yang diterima oleh tenaga ahli bersifat berkesinambungan atau tidak bersifat berkesinambungan? Kedua, apakah tenaga ahli menerima penghasilan dari tempat lain? Dan yang ketiga, apakah tenaga ahli tersebut memiliki NPWP? Hal-hal tersebut akan berpengaruh dalam penghitungan PPh 21 terutang dari tenaga ahli.

 

Imbalan Berkesinambungan dan Tidak Berkesinambungan

     Seorang tenaga ahli yang masuk dalam kategori Bukan Pegawai dapat menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan atau tidak berkesinambungan. Dalam Pasal 1 angka (22) PER-16, imbalan kepada Bukan Pegawai yang Bersifat Berkesinambungan didefinisikan sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dibayarkan atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender. Sebaliknya, imbalan kepada Bukan Pegawai yang Tidak Bersifat Berkesinambungan adalah imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dibayarkan atau terutang hanya satu kali dalam satu tahun kalender.

 

Dasar Pengenaan dan Pemotongan

Setelah tenaga ahli dapat menentukan jenis imbalan yang diterima, langkah selanjutnya adalah menghitung Dasar Pengenaan dan Pemotongan (DPP). Dalam PER-16 Pasal 9 ayat (1) huruf c disebutkan bahwa DPP yang berlaku bagi Bukan Pegawai yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan adalah 50% dari jumlah penghasilan bruto. Bagi orang pribadi yang berstatus Bukan Pegawai dan menerima imbalan berkesinambungan terdapat ketentuan khusus sebagaimana tertulis dalam PER-16 bagian Petunjuk Umum. Ketentuan ini berkaitan dengan hak untuk mendapatkan pengurangan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam penghitungan DPP.

Diolah oleh Penulis

     Ada pun syarat bagi tenaga ahli untuk mendapatkan pengurangan PTKP adalah:

  1. menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
  2. tidak menerima penghasilan lainnya,
  3. jika tenaga ahli seorang wanita maka untuk memperoleh pengurangan berupa PTKP, selain fotokopi kartu NPWP suami, juga fotokopi surat nikah, dan kartu keluarga (PER-16 Pasal 13 ayat 2).

 

Penghasilan Tidak Kena Pajak

Secara sederhana, PTKP diartikan sebagai besaran penghasilan yang digunakan oleh perseorangan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sehari-hari seperti makan dan minum, tagihan PLN, ongkos transportasi, dan sebagainya. Dalam PMK Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian PTKP, jumlah PTKP paling sedikit adalah sebesar Rp54 juta setahun atau Rp4,5 juta per bulan.

Besaran PTKP ditentukan oleh status perkawinan dan jumlah tanggungan yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Untuk wajib pajak yang telah menikah, maka akan mendapatkan tambahan PTKP sebesar Rp 4,5 juta per tahun. Sedangkan atas setiap tanggungan yang dimiliki oleh Wajib Pajak akan mendapatkan tambahan PTKP sebesar Rp4,5 juta per tanggungan. Tanggungan yang dimaksud disini adalah anggota keluarga sedarah (orangtua kandung, saudara kandung, dan anak) dan keluarga semenda (mertua, anak tiri, serta ipar) yang berada dalam garis keturunan lurus termasuk anak angkat. Jumlah maksimal tanggungan yang dapat diperhitungkan dalam PTKP adalah tiga orang.

Sehingga jika seorang tenaga ahli belum menikah memiliki penghasilan di bawah Rp54 juta setahun, maka ia dibebaskan dari pengenaan PPh. Namun jika penghasilannya dalam setahun mencapai Rp60 juta, maka jumlah penghasilan yang dikenakan pajak hanya yang sebesar Rp6 juta. Rincian PTKP menurut PMK terbaru adalah sebagai berikut :

Diolah oleh Penulis

Tarif bagi Penghasilan Kena Pajak (PKP)

     Jumlah penghasilan bersih setelah dikurangi dengan PTKP akan menunjukkan jumlah penghasilan kena pajak (PKP). PKP tersebut kemudian dikenakan tarif pajak progresif berdasarkan pasal 17 UU PPh. Untuk tenaga ahli yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif pajak progresif Pasal 17 atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan.

     Dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan oleh pemerintah pada Oktober lalu, lapisan tarif PPh yang terbaru bertambah satu bracket yang diperuntukkan bagi kaum super kaya (high wealth individual) di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk lebih memberikan rasa keadilan kepada masyarakat karena pajak harus dikenakan berdasarkan daya pikul masing-masing orang. Semakin tinggi penghasilan yang dimiliki oleh seseorang maka semakin besar pula tarif pajak yang dikenakan.

Diolah oleh Penulis

Tenaga Ahli Tidak Ber-NPWP

          Dalam PER-16 Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dikenakan tarif 20% lebih tinggi daripada tarif yang diterapkan pada Wajib Pajak yang memiliki NPWP. Untuk itu penting bagi tenaga ahli untuk memastikan kebenaran data dalam bukti potong PPh Pasal 21, seperti kesesuaian NPWP yang dimiliki, perhitungan DPP, besaran PTKP, pengenaan tarif PPh, dan sebagainya. Jangan sampai terjadi, tenaga ahli yang sebetulnya sudah memiliki NPWP dikenakan tarif pajak 20% lebih tinggi karena ketidaktahuan pemotong pajak dalam menghitung PPh. (*)

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan merupakan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.