Oleh Revanza Almaas, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

“Sepuluh juta??”

Terdengar pekik Om Afwin ketika Dinda tengah mengikat sepatunya. “Biasanya bayarnya sejutaan aja, kenapa tiba-tiba berubah?” Suara itu membuat gerakan tangan Dinda berhenti, menyadarkannya bahwa ia baru saja membuat simpul yang salah. “KPP ini ketagihan ya ambil keuntungan dari kita,” komentar santer tersebut cukup untuk membuat Dinda menoleh dan menanyakan yang terjadi, tetapi tidak kali ini. Hari ini ada mata kuliah Mekanika Rekayasa yang perlu ia hadiri, mengingat ia masih kesulitan memahami materi pada pertemuan sebelumnya. 

Meski sudah meninggalkan rumah, melangkahkan kakinya untuk menjemput Wulan –sahabatnya– isi kepalanya masih memikirkan kalimat tadi. Dinda adalah seorang mahasiswi Teknik Sipil yang kini menginjak semester III. Ia tinggal bersama paman dan bibinya di Semarang sejak kuliah. Lantaran jarak yang sangat dekat dengan kampus, ia kerap memilih berjalan kaki setiap hari. Menurutnya, itu baik untuk dietnya. Sementara itu, pamannya yang biasa ia panggil Om Afwin itu memiliki perseroan terbatas di bidang kuliner. Yang Dinda tahu, usahanya selalu lancar. Suara lantangnya pada menit terakhir tadi bukanlah hal yang biasa ia dapati. Ingin ia memahami cara mengelola bisnis, tetapi sayangnya kegiatan kuliah saja sudah membuat ia pening sehari-hari.

---

“KPP itu apa, Lan?” tanya Dinda. Wulan yang baru hendak menutup pintu kos menjawabnya, “KPP itu singkatan dari Kantor Pelayanan Pajak, Din. Ada apa?” Oh, sekarang, Dinda mengerti pihak yang terlibat dalam teriakan itu. Ia lantas menceritakan yang didengarnya kepada Wulan. Kepada temannya mahasiswi jurusan Akuntansi itu, Dinda berharap bisa memperoleh secercah penjelasan.

Hmmm, aku belum bisa menyimpulkan dari potongan pembicaraan itu sih Din,” ujar Wulan, “tapi tarif PPh badan menurut UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan itu 22% dari penghasilan bersih kena pajak. Kalau omzet usaha pamanmu di bawah Rp4,8 miliar, seluruhnya terkena fasilitas penurunan tarif Pasal 31E UU PPh sebesar 50%.” Mendengar itu, Dinda merengut seraya memutar bola mata. “Jadi, tarifnya 22% atau 50%?”

UU PPh yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker).

“Keduanya. Tarif 22% dikalikan dengan 50%.”

“Akhir-akhir ini ada perubahan nggak Lan?”

“UU HPP itu disahkan tahun 2021 Din. Tahun ini masih ajek, kok.”

Sedangkan UU HPP yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan.

Dinda mengangguk. Rautnya jelas menunjukkan rasa penasarannya yang masih melekat dengan hal yang diributkan pamannya tadi. Jika tarif sudah ditetapkan oleh undang-undang, bagaimana bisa pembayaran pajaknya naik besar tiba-tiba tahun ini? Apakah penghasilan paman naik drastis? Kalau itu, rasanya mustahil. Ia yakin karena menyaksikan sendiri keadaan usaha pamannya yang tidak banyak berubah sejak tahun lepas. Atau apakah petugas pajaknya ...

Tin, tin ...

Wulan dan Dinda menengok ke belakang. Tampak ada mobil yang berjalan melambat mendekati mereka. Oh, itu rupanya Om Afwin! “Dinda! Ayo masuk takanterin,” panggil Om Afwin.

Dinda menarik tangan Wulan, “Ayo Lan!”

Jalan sehat pagi ini tampaknya tak sesuai rencana. Siapa pula yang mau menolak tebengan mobil kan? Ha-ha-ha. Setelah mereka mengaitkan sabuk pengaman, Om Afwin menyodorkan tas kresek. Dinda menengoknya. Isinya makanan ringan berbalok-balok dan berbungkus plastik, tetapi ia tak tahu pasti. “Apa ini, Om?”

Om Afwin tersenyum, “Cobalah dulu.”

Dinda membuka plastik pembungkusnya. Makanan ringan itu sejenis kacang. Ketika ia pegang, permukaannya lumayan lengket. Namun, rasa manisnya sudah terkecap di lidahnya hanya dari mencium aromanya. “Eh enak, manis legit. Kamu harus coba, Lan,” ujar Dinda.

“Yang kamu makan namanya jipang kacang. Itu makanan khas Kebumen, tempat Om tumbuh besar. Bahannya kacang tanah yang disiram gula aren hingga gulanya mengeras, baru dipotong kotak-kotak. Jadilah bentuknya begitu,” terang Om Afwin, “jipang itu salah satu yang jadi andalan Om waktu merintis usaha dulu,” sambungnya.

Oh iya, bisnis Om Afwin ini sudah berdiri sejak 2020. Ia menyalurkan makanan ringan ke pengecer. Selain itu, ia juga memiliki toko yang menjual berbagai makanan ringan.

“Om mau ke mana?” tanya Dinda.

“Oh, ini aslinya mau ke kantor pos buat bayar pajak, Din. Barusan dikasih kode penagihan (billing) sama AR. Om kaget tahun ini naik banyak,” ceritanya. AR yang dimaksud adalah Account Representative, pegawai pajak yang bertugas memberikan bimbingan dan pengawasan agar kepatuhan wajib pajak meningkat sesuai ketentuan.

“Wah kok bisa begitu Om, apa karena omzet melonjak ya?” tanya Dinda.

Gak, Din. Seperti yang kamu liat, usahanya masih stagnan dari tahun sebelumnya. Katanya sih tarif yang dipakai berubah. Om malas tanya-tanya jadi manut saja, cuma aslinya kesel.”

Sesudah mendengar itu, Wulan sontak tersedak. Jipang yang masih di kerongkongan menahan sesuatu yang baru saja tepercik di benaknya. Uhuk, uhuk.

Dinda langsung menyodorkan air minum padanya. “Aduh maaf, maaf, tapi aku kayaknya tahu alasan kenaikan pajak terutangnya, Om,” kata Wulan usai meneguk air.

Om Afwin melongok Wulan lewat spion tengah dengan penuh rasa penasaran, “Wah mantap tuh, kira-kira alasannya apa itu Lan?”

Pagi itu, seraya menyantap jipang kacang di dalam mobil, Dinda dan pamannya belajar lebih jauh mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, yang mencabut dan menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Mereka belajar bahwa sejak tahun 2018, badan mendapatkan fasilitas tarif pajak penghasilan final 0,5% dari penghasilan bruto. Selama ini, dari tarif itulah Om Afwin dapat menikmati pajak terutang yang rendah. Namun, pada 2023 ini, usahanya menginjak tahun keempat. Telah habis terpakai "karcisnya" untuk memakai fasilitas tarif tersebut. Barangkali, itulah yang baru diketahuinya. Perseroan terbatas –sebagaimana termaktub dalam peraturan pemerintah itu– hanya bisa mengeklaim tarif PPh final 0,5% sebanyak tiga kali, membawa perseroan paman pada tarif umum PPh badan pada tahun ini.

Berbarengan dengan anggukan Dinda dan Om Afwin yang menyimak penjelasan Wulan, ban mobil sudah menggapai pelataran gedung kuning Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Wulan turun, tetapi rasa bangganya naik melejit. Belum pernah ia sadari betapa penting ilmu yang ia peroleh. Napas pun ia tarik kuat-kuat. Tempo ini dan seterusnya, ia bertekad untuk tak menutup bukunya lagi, karena pengetahuan kita acapkali dibutuhkan pada saat yang paling sulit kita ekspektasi.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.