Oleh: (Shinta Amalia), pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pada Oktober 2024 lalu, pemerintah mengundangkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administasi Perpajakan (PMK 81/2024). Ditetapkannya beleid tersebut turut memperjelas ketentuan soal pengkreditan pajak masukan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN/PPnBM) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Pajak masukan sendiri merupakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) karena perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak (JKP) dan/atau pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean dan/atau impor BKP.

Pajak masukan sangat penting bagi wajib pajak yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pasalnya, pada saat PKP melakukan pembelian BKP/JKP, ia akan dipungut PPN oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP. PPN yang telah dipungut tersebut (pajak masukan) akan menjadi pengurang PPN yang harus dibayar oleh PKP tersebut (pajak keluaran) nantinya.

Regulasi mengenai pengkreditan pajak masukan telah diatur dalam Pasal 9 ayat (9) UU PPN/PPnBM jo. UU HPP. Ketentuan tersebut menyatakan: “Pajak masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) masa pajak setelah berakhirnya masa pajak saat faktur pajak dibuat sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan BKP atau JKP serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan undang-undang.”

Dengan adanya PMK 81/2024, Pasal 375 ayat (1) PMK tersebut mengatur: “Pajak masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama.” Kemudian, Pasal 376 ayat (1) PMK 81/2024 memperjelas: “Pajak masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 ayat (1), yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak, tetapi belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) masa pajak setelah berakhirnya masa pajak saat dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak dibuat.”

Namun, mekanisme tersebut dapat dilakukan hanya apabila pajak masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan BKP atau JKP, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Adapun pengkreditan tersebut dilakukan melalui penyampaian atau pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN.

Penjabaran dan penjelasan mengenai ketentuan tersebut dalam PMK 81/2024 tidak instan begitu saja. DJP telah menempuh perjalanan panjang untuk mengembangkan faktur pajak sampai ke titik ini. Pemberian jangka waktu pengkreditan pajak masukan paling lambat tiga bulan setelah masa pajak saat faktur pajak dibuat berkaitan dengan pembuatan faktur pajak yang masih dilakukan secara manual. Faktur pajak masih harus dicetak di kertas dan kemudian baru diberikan kepada lawan transaksi. Hal ini menyebabkan PKP pembeli cenderung terlambat menerima faktur pajak masukan. Mengingat pelaporan SPT PPN dilakukan paling lambat akhir bulan berikutnya, faktur pajak masukan yang diterima terlambat tersebut akhirnya tidak dikreditkan di masa pajak saat faktur pajak tersebut dibuat.

Menanggapi perkembangan digitalisasi, pada tanggal 1 Juli 2016, DJP menetapkan penggunaan aplikasi e-Faktur secara nasional. Mulai saat itu, pembuatan faktur pajak dilakukan melalui aplikasi e-Faktur. Meskipun sudah menggunakan aplikasi, faktur pajak masukan yang diterima dari lawan transaksi masih perlu diinput juga di aplikasi e-Faktur PKP pembeli.

Merasa masih terdapat hal yang perlu ditingkatkan, DJP memperkenalkan fitur Prepopulated Pajak Masukan pada tanggal 1 Oktober 2020. Pajak keluaran dari aplikasi e-Faktur PKP penjual muncul otomatis sebagai pajak masukan di aplikasi e-Faktur Wajib Pajak PKP pembeli. Tinggal dipilih saja mana yang hendak dikreditkan.

Tak ingin berpuas, DJP kemudian akan mengintegrasikan pembuatan faktur, pengkreditan, dan pelaporannya melalui aplikasi terbaru DJP yang bernama Coretax. Salah satu keuntungannya adalah aplikasi ini membuat PKP pembeli tidak akan terlambat lagi menerima atau mengkreditkan faktur pajak masukan mereka.

Dengan diberlakukannya PMK 81/2024 per 1 Januari 2025 mendatang, pajak masukan yang berasal dari pajak keluaran masa Januari 2025 hanya dapat dikreditkan pada SPT Masa PPN Januari 2025. Sementara itu, pengkreditan pajak masukan atas dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak tetap dapat dikreditkan paling lambat tiga bulan setelah berakhirnya masa pajak saat dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak dibuat. Pengkreditan tersebut dapat dilakukan apabila pajak masukan tersebut belum dikreditkan pada masa pajak yang sama.

Di sisi lain, Pasal 387 ayat (1) PMK 81/2024 menegaskan bahwa faktur pajak wajib diunggah oleh PKP dengan menggunakan modul dalam Portal Wajib Pajak atau laman lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi DJP. Terkait kewajiban mengunggah faktur pajak ini, telah dijelaskan dalam peraturan sebelumnya, yakni Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak sebagaimana telah diubah dengan PER-11/PJ/2022. Dalam regulasi tersebut, PKP wajib mengunggah faktur pajak yang dibuat paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-Faktur.

Yang mungkin perlu menjadi perhatian ke depan bagi PKP yang hendak mengkreditkan pajak masukan adalah PKP penjual masih memiliki batas waktu unggah faktur pajak sampai dengan tanggal 15 bulan berikutnya. Bisa saja, pajak masukan PKP pembeli belum muncul saat hendak menyampaikan SPT Masa PPN karena belum diunggah oleh PKP penjual, khususnya saat awal bulan berikutnya. Oleh karenanya, PKP pembeli perlu memastikan agar pajak masukannya sudah lengkap atau menyampaikan SPT Masa PPN setelah tanggal 15 bulan berikutnya.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.